Oleh Chris Boro Tokan
Kata
kunci: Dalam
makna Adonara Nuha Nara Nebon, makna Solor-Nusa Nipa, makna
Lembata-Pulau Lomblen, terpahami dan terungkap misteri benua Atlantis
yang hilang dan listofer-nya.
Pendahuluan
Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata, di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, masing-masing dikenal dengan nama kepurbaa-kalaannya, yang
sampai kini tetap dalam memori sebagian masyarakatnya yang menjadi
anak-anak zaman-nya. Adonara di kenal dengan Nuha Nara Nebon, Solor dengan Nusa
Nipa, Lembata dengan Lomblen.
Adonara yang sering
diungkapkan dalam “Tadon Tanah Geto-Nuha Nara Nebon”, bermakna
sebuah pulau (nuha) yang timbul karena putus/terbelah-nya (geto)
daratan (tanah) kediaman dewa (aton, adon, tadon),
sehingga seluruh inti-sari (manusia, nara) dari daratan itu kembali
bersatu/berkumpul (nebon) ke sumber-nya yang tersimbol di pulau itu.
Solor yang di ungkap juga dalam “Laga Doni-Nusa Nipa”,
bermakna sebuah pulau (nusa) yang timbul karena tanah-ekan (Doni
=Dunia) yang pecah/hancur (Laga), sebagai akibat dari dosa yang
ditimbulkan oleh godaan ular (Nipa). Sebutan Nipa ini juga
menjadi nama purba dari pulau Flores. Maka itu Petu Sareng Orin Bao
alias Pater Piet Petu, SVD dalam bukunya: “NUSA NIPA WARISAN PURBA”
(1969). (hal 221), mengungkapkan kegusarannya, merasa aneh, kenapa nama
Nusa Gede (Nusa Nipa), Pulau Flores, dinamai selaras dengan nama-nama nusa
cilik, misalkan dengan nama nusa Solor, nusa Ende. (catatan penulis:
Nusa Ende adalah Pulau Ende, sebuah pulau kecil berhadapan dengan kota Ende).
Lembata yang sering disebut dalam nama kepurba-kalaan “Lomblen”,
sering huruf n berubah pengucapan menjadi huruf m, sehingga
menjadi “lomblem” . Tercermati kata Lomblen terbentuk dari
dua patah kata yakni: “lomb”, dan “len” yang sering juga berubah
menjadi “lem”. Sesungguhnya suku patah kata “lomb” ini bermula
dari kata “lomek” dan kata “lobek” yang berarti “tenggelam”.
Sedangkan suku patah kata len itu bermula dari kata “len’na” bersinonim
dengan “lem’na” yang berarti “tersandar”/“tertahan” bersinonim
“tertempel”/”terlekat”/”tersangkut” dalam makna bahasa Indonesia. Maka
makna dalam nama Lembata secara harafiah sebagai sebuah daratan yang
tenggelam namun tertahan.
Dengan demikian sebutan purba “Tadon Tanah Geto-Nuha Nara Nebon”
untuk pulau Adonara, juga ungkapan kuno “Laga Doni-Nusa
Nipa” untuk pulau Solor, begitupun penamaan unik “Lomblen” kepada
pulau Lembata, menggambarkan listofer (daratan baru)
sebagai simbol seluruh pulau di NTT, NTB, Maluku, Sulawesi, berbagai Kepulauan
di Pasifik, Madagaskar, Selandia Baru, Philipina sebagai wilayah dari Atlantis,
sebuah Benua yang dahulu kediaman para Dewa, tenggelam/hilang
, sebagai pengulangan taman firdaus yang hilan karena dosa asal dalam symbol
peran se ekor ular (nipa). Jika sebutan purba pulau Flores
dengan “Nusa Nipa”, tentu tidak lain membuktikan peran Ular di zaman itu
untuk menjatuhkan manusia ke dalam dosa asal, membuat pasangan manusia awal
terusir dari taman firdaus, terulang dalam bencana dasyat penenggelaman benua
Atlantis.
Sedangkan nama Adonara sendiri sesungguhnya hasil evolusi ucapan
adam, adon, ad, at, aton, atl, atlantis, bermakna hakiki putra dewa, putra
matahari http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/24/menelusuri-makna-hakiki-kata- adonara
-dalam-adonai-elohim-dan-yehovah-sebutan-tiga-gelar-allah/. Solor
terpahami dalam makna solar- polar sebagai matahari-bulan, sehingga nama
Solor menjelaskan makna kepercayaan manusia atlantis kepada matahari-bulan
sebagai, sinar-terang-cahaya, simbol dari Allah http://filsafat.kompasiana.com/2013/08/17/rahasia-atlantis-matahari-dalam-makna-adonara-solor-mengungkap-indentitas-india-mesir-cina-israel-yunaniroma-arab-sebagai-replika-salib-atlantis--584773.html
Lembata
itu sendiri menyimpan makna bencana alam. Terbentuk dari nama
pulau Lepan dan pulau Batan. Kedua pulau itu terletak di
antara pulau Lembata dan kepulauan Alor. Pulau Lepan tenggelam dan
menyisahkan pulau Batan yang tidak berpenghuni. Dalam mitos
kebencanaan menjadi tempat transit para leluhur orang-orang
Lamalera, sebelum ada bencana yang ditimbulkan oleh Ikan Raksasa,
yang akhirnya mengungsikan mereka ke kediaman mereka di
desa Lamalera kekinian, pulau Lembata (Gregorius Keraf,
“Morfologi Dialek Lamalera”, 1978, hal.227-239)
Penelusuran
beberapa Literatur dan Dialektika Paradigma
Melalui penelusuran kepustakaan, tertemukan satu-satunya literatur
menyebut Adonara dengan sebutan purba “Nuha Nebon”, dalam “Gezedenische
van Inlander Nuha Nebo” 1930 oleh H.v.d. Hulst, SVD. Sepanjang ini
belum ditemukan literature lain yang mengunakan sebutan purba “Nuha Nebon”,
untuk Adonara. Sedangkan J.D.H Beckering 1911 telah menyebut
Adonara dan Lomblem dan kepulauan Solor, “Beschrijving der Eilanden
Adonara en Lomblem, Behoorende tot de Solorgroep”, dalam T.A.G 28, hlm 167.
Jauh sebelumnya J.M Kluppel, 1873 telah menulis Solor dalam “De
Solor Eilanden”, T.B.G 20, hlm. 378. Antropolog Ernst Vatter 1932,
menulis “Ata Kiwan”, tentang Manusia Adonara, Solor, Lembata sampai
Pantar (Alor). Misionaris Jerman Paulus Arndt SVD (Kongregasi Societas
Verbi Divini) telah mempublikasikan “Demon und Padzi,
Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels” 1938 , “Anthropos”
Band XXXlll, (1938), hal 1-58, diindonesiakan “Demon dan Paji, Dua
Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor”, (2002).
Dalam “Gezedenische van Inlander Nuha Nebo” 1930 oleh H.v.d.
Hulst, SVD, dapat diketahui inti isinya yang digambarkan oleh si pemilik
buku itu Matheos Kopong (seorang sejarawan, pensiunan guru, produk awal
Fakultas Keguruan Jurusan Sejarah Universitas Nusa Cendana Kupang, era
1970an, kini menetap di Kupang), bahwa memetakan pulau itu sebagai penuh dengan
konflik sosial dan strafikasi sosial. Paradigma yang
tergambarkan demikian itu, maka si penulis buku itu (H.v.d. Hulst, SVD), berpesan
kepada para pemilik buku itu (yang sangat terbatas sekali jumlahnya di Adonara
saat itu), bahwa “sebelum hilang paradigma konflik sosial dan
stratifikasi social yang ada di pulau itu, maka sekali-kali buku itu tidak
boleh menjadi pengetahuan umum masyarakat Adonara”.
Paradigma yang diangkat H.v.d. Hulst itu diungkap pula Ernst
Vater dalam “Ata Kiwan” 1932, yakni Adonara sebagai sebuah
pulau dalam Atlas Dunia tidak terlihat, namun manusia yang mendiami
berkarakter unik. Karakter manusianya itu digambarkan sebagai sesuatu yang
tidak dapat masuk di akal buat orang Eropa, karena rangsangan dan reaksi
(tindakan/kelakuan) tidak sepadan apabila dicermati dari sebab yang
mengakibatkan tindakan itu, nampaknya tidak mempunyai hubungan yang masuk
akal (Ata Kiwan, Bibiliographisches Institut Ag/Leipzig, 1932,
diindonesiakan oleh S.D. Syah dengan judul yang sama, 1984, hal. 24-25).
Warisan paradigma itu yang antara lain menyebabkan watak
manusia adonara menjadi unik. Ada paradigma orang watan vs orang kiwan atau
orang pante vs orang dulhi. Orang suku Paji vs Orang suku Demon sebagai
sebuatan lain dari orang watan vs orang kiwan atau orang pante vs orang
dulhi. Artinya orang suku Paji yang teridentifikasi sebagai orang pantai,
pesisir (ata watan/ata pante), perairan/laut (orang laut, manusia laut) vs
orang suku Demon yang terindetifikasi sebagai orang daratan pedalaman (ata
dulhi/ata kiwan), pegunungan (orang gunung, manusia gunung). Paradigma yang
demikian (stratifikasi dan konflik sosial) dikaji secara spesifik oleh
seorang Misionaris Jerman Paul Arndt SVD (Kongregasi Societas
Verbi Divini), mempublikasikan “Demon und Padzi,
Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels” 1938 , “Anthropos”
Band XXXlll, (1938), hal 1-58, diindonesiakan oleh Paul Sabon Nama “Demon
dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor”,
(2002).
Stratifikasi Sosial (ada orang perairan/laut/pante vs orang
darat/gunung/kiwan/dulhi) dan Konflik Sosial (dalam perang Demon vs Paji)
merupakan dua variable social yang saling dialektik, serta merupakan produk
sebuah peradaban dan kebudayaan yang paling tua (terawal). Permusuhan Dua
Bersaudara yang dikaji Paul Arndt, sesungguhnya pengulangan (copy) dari
konflik Kain dan Abel awal mula sebagai konflik budaya Pertanian (Kain
si Petani) vs budaya Peternakan (Abel si Penggembala). Paul Arndt menjadi
dilematis dalam kajiannya itu tentang apakah sesungguhnya itu merupakan sebuah
watak asli manusia di Kepulauan Solor (Adonara-Solor-Lembata)? Sebuah
keaslian watak yang sesungguhnya menjadi watak seluruh manusia di Kepulauan
Solor Purba (NTT,NTB, Maluku, Sulawesi, bebagai Kepulauan di Pasifik, Phlipina,
Madagaskar, Selandia Baru) sebagai listofer dari Benua yang hilang) atau karena
pengaruh watak Hindu dari India?
Namun akhirnya Paul Arndt menegaskan bahwa adanya
hubungan antara masyarakat Kepulauan Solor dengan Suku Munda di India.
Suku Munda yang dikelilingi oleh orang-orang Hindu dari masa sebelum Budhisme,
yakni Brahmanisme, (hal 78). “Semuanya itu telah cukup menunjukan,
bahwa Hinduisme mempunyai pengaruh yang besar di Kepulauan Solor”, demikian
Paul Arndt, dalam kesimpulannya pada kalimat terakhir (hal. 83).
Ditegaskan bahwa Doni adalah kebalikan
dari Indo dan menunjukan adanya suatu hubungan dengan orang Hindu
dalam masa yang kemudian. Kalau demikian orang Munda yang telah mengungsi ke
Kepulauan Solor, mungkin masih ada di India dalam abad-abad pertama masa
Budhisme. Pada saat ini Shiwa dan Wisnu belum
mempunyai perkembangan seperti yang kita temukan kemudian di Jawa (hal.92-93).
Dalam konteks Teori Atlantis Arysio Santos dan Teori Sundaland
Oppenheimer, maka sesungguhnya yang benar tentu pengaruh Peradaban
Lamaholot (Kepulauan Solor) yang besar terhadap Hinduisme, bahkan sebelum
Hinduisme yakni Brahmanisme di India http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/27/peradaban-lamaholot-di-nusa-tenggara-timur-dan-brahmanisme/,. Begitupun masyarakat Ngadha di
Flores Tengah sebagai wilayah Lamaholot Purba, tentu mempunyai pengaruh yang
besar terhadap Hinduisme bahkan Brahmanisme di India. Terjelaskan
melalui tiga siklus peradaban dunia yang hilang dikarenakan bencana alam
yang sangat dasyat: siklus 1 pada 75 ribu tahun lalu mengakhiri Atlantis
Lemuria, siklus 2 pada 11 ribu tahun lalu mengakhiri Atlantis Sang
Putra, siklus 3 terjadi 3ribu tahun lalu mengakhiri Replika atlantis
(bandingkan Arysio Santos, "ATLANTIS The Lost Continent Finally
Found", The Devinitive Localization of Plato's
Lost Civilization” (2005), diIndonesiakan menambah subjudul: INDONESIA
TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN DUNIA (2009) hal 96 s/d 160 dan hal
574 s/d 592).
Pendapat Paul Arndt, SVD tentang pengaruh Hinduisme di Ngadha
maupun di Kepulauan Solor, tentu hanya dapat di pahami dalam siklus
peradaban 3 tentang mencairnya es di puncak pegunungan Himalaya. Siklus 3
sebagai bencana yang membuat orang dari India dan sekitarnya mengungsi,
antara lainnya ke Kepulauan Solor, turunan kekinian menyebut diri Ata
Sina Jawa Papan Haka. Namun sesungguhnya jauh sebelumnya terjadi
bencana dasyat dalam Siklus Peradaban 1 dan 2, yang membuat orang-orang
kepulauan Solor sebagai bagian wilayah Atlantis yang hilang, ada yang
mengungsi dan terdampar di india (bandingkan Arysio Santos hal 59-160).
Seperti Stephen Oppenheimer dalam bukunya “EDEN IN THE
EAST The Drowned Continent of Southeast Asia” 1998, diindonesiakan “EDEN
IN THE EAST, SURGA DI TIMUR, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara”
2010, melalui kajian Gen berusaha menempatkan semua bukti kerangka
dan mtDNA bersama-sama, model yang paling sederhana bagi perluasan
Polinesia akhir 3.500 tahun lalu adalah bahwa ini muncul dari sebuah
populasi Indonesia Timur yang telah ada sebelumnya, bergerak dengan cepat
ke timur, lewat pulau Admiralties, melewati daratan Papua Nugini Utara
tapi mengambil beberapa agen Melanesia sebelum tiba di Samoa. Hal ini merupakan
model yang sama seperti telah ditemukan dari gabungan arkeologi dan
linguistic (bab 2 hal. 53-96 dan bab 5 hal.
191-244). Sudut pandang sebuah asal-usul Indonesia Timur local berusia
17.000 tahun bagi motif Polinesia yang dibawa oleh orang, para
penutur Austronesia ke Pasifik sekarang mulai membantu tersingkap misteri
negeri asal Austronesia (hal. 280). Motif Polinesia tiga kali (baca: gen
nenek, ibu, anak, pen), meskipun dibatasi terutama untuk para penutur
Melayu-Polinesia dan Oseania, masih terhubung dengan penghapusan 9-bp Asia
Tenggara lainnya, tapi pada lebih dari satu pembuangan. Kajian tentang ketiga
situs subtitusi ini mengungkap bahwa mereka membentuk sebuah garis maternal
Asia yang berurutan. Yang pertama dari tiga substitusi ini mungkin terjadi
setelah penghapusan 9-bp, dan sebelumnya terbawa ke Amerika.
Perkiraan-perkiraan bagi dua peristiwa mutasi ini kembali sebanyak 60.000
tahun. Subtitusi pertama yaitu nenek Asia, adalah bentuk dominan penghapusan
9-bp di antara penduduk asli Amerika sekarang, dan tersebar luas dan lazim di
seluruh Asia Tenggara. Mungkin ini berasal dari antara para leluhur
orang-orang Pribumi bertutur Orang Asli Austro-Asiatik di Asia Tenggara,
semuanya hari ini mempunyai jenis nenek Asia substitusi pertama, tanpa
varian-varian berikutnya. Meskipun demikian, nenek Asia juga bisa telah muncul
lebih jauh ke utara di sepanjang pantai Cina Selatan 60.000 tahun lalu (hal.
281), (bandingkan catatanku http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/31/homo-floresiensis-penegasan-manusia-matahari-solor-purba-nusa-tenggara-timur-maluku-dengan-pembuktian-oppenheimer/
Oppenheimer menunjukan dengan merangkum bukti antara lain dari penanda-penanda
genetis Adam dan Eva bagi sebuah penyebaran timur ke barat sebagai
berikut: penghapusan 9-bp Asia dibawa ke India selatan sebagai ibu Asia
Tenggara, seorang wanita yang mungkin menuturkan bahasa Austronesia. Klan-klan
maternal kelompok F dalam klasifikasi Antonio Torroni, yang lebih
jelas tertaut kepada para penutur Austro-Asiatik di daratan Asia
menyebar secara radial (menjari) ke utara ke Indo-Cina dan Tibet, ke
barat yaitu India Utara…. (hal.302). .. Wilayah yang terpengaruh menyebar dalam
sebuah gelombang dari Pasifik Selatan di tenggara, melalui Asia Tenggara,
Cina selatan, India, Arab, Timur Tengah, dan akhirnya ke mediterania di Barat
Laut (hal.303). Dengan demikian dari telusuran Oppenheimer, bahwa misteri Benua
yang Hilang atau Surga yang Hilang itu sesungguhnya berada di wilayah Nusa
Tenggara, Maluku, Sulawesi sebagai bagian kepulauan Asia Tenggara (Bandingkan http://sejarah.kompasiana.com/2013/01/30/benua-yang-hilang-tempat-penciptaan-dan-kediaman-adam-eva-beserta-listofernya--529175.html.
Merujuk
paradigma “Negri Mistis” rempah-rempah dan “ Mistis Pohon
Kehidupan”
Karl-Heins Kohl dalam karya-nya “Der Tod der Reisjungfrau, Mythen, Kulte
und Alianzen in einer ostindonesischen Lokalkultur”, di Indonesiakan oleh
Paul Sabon Nama “RARAN TONU WUJO Aspek-Aspek Inti Sebuah Budaya Lokal
di Flores Timur” (2009), menjelaskan bahwa: “Demikian banyaknya kontak
antara Flores Timur dan kepulauan Solor-Alor dengan kebudayaan dan
bangsa-bangsa asing, yang pengaruhnya dapat dilihat pada penampakan lahiriah
penduduk pulau ini, disebabkan oleh kedekatannya dengan Timor dan Maluku.
Selama beberapa abad kelompok pulau-pulau ini, yang terkadang terpisah hanya
beberapa ratus meter, merupakan tempat pelindung yang aman dalam angin badai
bagi para pelaut dan pedagang dalam pelayaran mereka dari kepulauan Sunda
Besar di barat menuju pulau rempah-rempah di timur. Perdagangan buah pala dan
cengkeh dari kepulauan di Indonesia Timur dengan wilayah Laut Tengah sudah
dilakukan dalam masa purba. … Juga dalam masa Madya Kala hubungan antara Eropa
dengan kepulauan rempah, yang kedengaran laksana dongeng tidak pernah putus
sama sekali. Adalah para pelaut dan pedagang Melayu, Arab, India dan Cina yang
melayari wilayah kepulauan Indonesia timur ini dan menjadi perantara
perdagangan dengan Eropa. Menjelang akhir abad ke 13 Marco Polo, yang menyertai
sebuah kelompok pedagang cina, mencapai pulau-pulau Indonesia bagian barat.
Dialah orang Eropa pertama yang menyampaikan berita tentang perdagangan
rempah-rempah dan kayu cendana dari pulau-pulau yang terletak jauh ke timur. Di
dunia Barat, kepulauan rempah-rempah yang jauh itu sudah menjadi tempat yang
mistis. Orang percaya bahwa kepulauan di negri timur itu terletak dekat firdaus
di bumi ini, yang dibayangkan penuh dengan rempah-rempah yang harum. Dalam
zaman Madya Kala dan juga di waktu-waktu yang kemudian, lada, kayu manis,
cengkeh, pala, cendana berupa ‘utusan dari sebuah dunia dongeng’.”(hal 25-26,
dengan merujuk Ruth Barnes, The Ikat Textiles of Lamalera. A Study of
an Eastern Indonesian Weaving Tradition, 1989, hal 124-125, yang merujuk J.I
Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, 29 B.C. to A.D 641,
Oxford 1969).
Paradigma “negri mistis” yang saling meneguhkan penandasan Arysio Santos
mengenai wilayah Indonesia yang sesungguhnya menjadi wilayah Atlantis yang
Hilang, maka menempatkan posisi geografis kepulauan Nusa
Tenggara (NTB dan NTT) dan Kepulauan Maluku menjadi sangat
penting, sebagai pembuka tabir misteri Surga Empirik yang hilang itu.
Seperti elaborasi Arysio Santos terhadap sebutan Pulau versi Plato, yakni
nesos dalam bahasa Yunani, sesungguhnya merujuk kepada
pulau-pulau versi dunia di Indonesia. Kata nesos berarti tanah
yang tenggelam dari kata dvipa yang digunakan oleh
orang-orang Hindu, berarti juga benua (hal. 22).
Telusuran lebih jelas tentang kata insula dari bahasa Latin dan
kata nesos dari bahasa Yunani, pada dasarnya dari kata incu
bahasa Dravida, berarti tanah yang berair, rawa.
Menurut Diodorus Siculus, atlantis yang tenggelam dalam rawa
Tritonides, sekaligus menegaskan bahwa Atlantis adalah benua yang tenggelam.
Berikut kiasan untuk surga atalantis yang hilang dikenal dengan Taman
Hesperides (atau Atlantides) sesungguhnya bermakna taman
yang memiliki dua perairan dari bahasa Dravida yang merujuk makna kata
dvipa=dvi-ap, berarti memiliki air di kedua sisi (hal
22-23).
Tercermati makna dua perairan dari kata dvipa=dvi-ap (bahasa
Dravida) itu merujuk kepada perairan samudra Pasifik dengan samudra Hindia. Dua
perairan yang menjadi gerbang masuk dari Timur menuju Barat atau dari Barat
menuju Timur. Gerbang masuk, oleh Plato menegaskan sebagai salah satu
indikator geografis terletak Benua Atlantis yang Hilang (Surga Empirik yang
Hilang). Merujuk keyakinan Buddha Amitabha menandaskan bahwa
itu wilayah sesungguhnya Surga Buddha tempat Matahari Terbit, yakni di Barat
(Arysio Santos, hal. 36).
Dapat termaklumi bahwa Barat yang dimaksudkan sebagai tempat Surga Buddha itu,
sesungguhnya Barat Terjauh (Kepulauan Nusa Tenggara), dan di situ
juga Timur Terjauh (Kepulauan Maluku). Kedua wialayah
ini terletak pada poros bumi, dua ujung terjauh dunia bertemu:
yakni penyatuan ujung Timur dan ujung Barat dari Bumi. Timur
Terjauh dan Barat Terjauh menunjuk kepada satu wilayah/ satu lokasi
dalam pengertian purba. Mengingat Bumi berbentuk bulat,
sehingga ujung Timur Terjauh dan ujung Barat Terjauh itu menyatu menjadi satu
tempat/satu wilayah (Arysio Santos, hal.27-28). Wilayah itu adalah terbit
dan terbenamnya Matahari, lokasi Surga Empirik yang Hilang, tempat Taman
Eden (Kebun Firdaus yang Hilang), terletak ibukota kekaiseran Atlantis yang
Hilang.
Timur Terjauh menjadi wilayah kepulauan Maluku penghasil
rempah-rempah (Cengkeh dan Pala), komoditi yang tidak ada duanya di bumi.
Barat Terjauh dalam hal ini Nusa Tenggara Timur wilayah penghasil Kayu Cendana
yang kualitas kewangiannya sampai kekinian tidak tertandingi di dunia. Wilayah
penghasil rempah-rempah dan bahan wewangian antara lain menjadi bagian fakta
flora penegasan gagasan Plato tentang ciri Benua Atlantis yang Hilang (Arysio
Santos,hal. 134). Dengan demikian fakta flora dan fakta letak geografis tentang
Benua Atlantis yang Hilang (Surga Empirik yang Hilang), seperti yang digagaskan
Plato dan dielaborasi Arysio Santos, sulit terbantahkan untuk
menempatkan Nusa Tenggara dan Maluku sebagai bagian Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), sekaligus sebagai bukti nyata bahwa Atlantis yang
Hilang itu menjadi pewaris yang syah: adalah Indonesia http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/24/cendana-cengkeh-pala-sebagai-pembuka-tabir-misteri-geografis-atlantis-yang-hilang/.
Paradigma lain yakni “ mistis pohon kehidupan”, Oppenheimer dalam
tahun 1996 mengamati adat istiadat membawa pohon ‘hutan’ yang dipilih
dengan saksama untuk dijadikan pusat pemujaan di desa dari suku Munda
(India) dan Eropa, ternyata muncul kembali ribuan mil ke arah timur di
antara budaya zaman megalitikum di Nusa Tenggara di Indonesia Timur. Kita juga
menemukan contoh yang sama di Flores dan Timor. Tiang Ngadhu milik suku Ngada
di dataran tinggi Flores adalah batang pohon yang telah dipilih
dengan saksama dan dengan semangat di bawah kembali ke desa. Mereka
menganggap batang pohon tersebut panas dan berbahaya sampai pohon tersebut
dibelah-belah, ditutupi dengan ukiran, dan diletakan di tengah desa.
Lambang lingga yang tidak secara langsung di tiang bendera dan pohon
karma di Eropa dan Asia tenggara, namun nampak di Munda itu, menjadi lebih
jelas lagi di pohon ngadhu (Flores Tengah) yang diletakan sejajar dengan rumah
rahim ‘wanita’ yang bernama Bhaga (hal.659).
Pengamatan Oppenheimer diinspirasi oleh Sir James Frazer dalam
karyanya The Goulden Bough,1949, hal. 342 yang menemukan versi ritual
taman ‘Adonis’ di suku Asli berbahasa Austro-Asiatik (bandingkan http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/27/bahasa-austronesia-sumber-asli-bahasa-dunia-dan-awal-mula-penyebaran/) di Bengal yang langsung
mengarah ke asal mula ritual dalam pemujaan pohon. Ketika tiba waktunya menanam
benih padi di suku Oraon dan Munda di Bengal, sekelompok pria dan wanita muda
pergi ke hutan dan menebang ‘pohon Karma’ dan membawanya kembali ke desa dengan
banyak sekali ritual. Di desa, pohon ajaib tersebut ditaman di tengah tempat
menari dan penduduk desa menari mengelilingi pohon tersebut dengan membawa
pita seperti tiang bendera. Beberapa pot yang berisi benih pohon barley
yang tumbuh dengan sangat cepat kemudian dipersembahkan kepada pohon tersebut
untuk memastikan pohon barley tersebut tumbuh dengan baik. Pohon inilah yang
kemudian dibuang ke air dan para roh hutan kecil tersebut kemudian
bertanggungjawab atas panen mereka. Secara kebetulan , lambang lingga yang
tidak secara langsung terlihat dari adat istiadat menari mengelilingi tiang di
Eropa dan Asia Tenggara menjadi terlihat dengan jelas dalam versi
suku Oraon dan Munda di Bengal. Lebih jauh Frazer menolak kalau pohon Karma
suku Munda India adalah nenek moyang dari Adonis (Oppenheimer, hal. 658).
Dengan penolakan Frazer kalau pohon Karma suku Munda India bukanlah
nenek moyang dari Adonis, maka melalui pengamatannya atas pohon ngadhu
milik suku Ngadha di di dataran tinggi Flores, Oppenheimer
menegaskan bahwa kalau begitu Frazer telah menemukan ujung dari berbagai
macam keyakinan yang berasal dari Asia Tenggara ini, karena di sanalah suku
Munda berasal (bandingkan hal.658). Dalam arti terpahami bahwa suku Munda
berasal dari pulau Flores (Nusa Nipa) bagian kepulauan Solor Purba, yang
mengungsi ke India di saat beralngsung siklus peradaban ke 1 maupun ke 2.
Sedangkan pendapat Paul Arndt bahwa telah berpengaruh Hinduisme di
Ngadha maupun di Kepulauan Solor karena ada penyebaran suku Munda dari
India, tentu hanya dapat di pahami dalam siklus peradaban 3 tentang
mencairnya es di puncak pegunungan Himalaya. Siklus 3 sebagai bencana yang
membuat orang dari India dan sekitarnya mengungsi, antara lainnya ke
Kepulauan Solor.
Keaslian
paradigma “mistis pohon kehidupan”
Menelusuri
keaslian paradigma “mistis pohon kehidupan”, seperti
ditunjukan Karl-Heins Kohl yang terinspirasi dari Ernst
Vater dengan “Ata Kiwan” 1932, melalui dewi padi di
seluruh pulau Flores, antara lain dalam mitos Raran Tonu Wujo, “Jalan
Tonu Wujo” tentang asal mula Padi sebagai pohon kehidupan di wilayah Lewo Lema-
Tanjung Bunga Flores Timur, bermula dari pengurbanan seorang gadis yang bernama
lengkap Tonu Wujo Nogo Gunu Ema Hingi. Juga P. Saren Orin Bao
tentang Tata berladang tradisional dan pertanian rasional suku bangsa Lio,
1992, menunjuk asal-usul padi di sebuah kampong Titi Poi Mage Lio,
melalui mitos tentang pembunuhan seorang gadis padi yang semi ilahi, yang
dihormati dalam berbagai upacara agraris dan dalam tradisi lisan dikenal
sebagai Ine Pare. Sedangkan Paul Arndt dalam “Religion
auf Ost-Flores, Adonare und Solor”, 1951, hal. 204-206 menunjuk tentang
asal-usul jagung dan padi di pulau Adonara dalam kisah seorang Ibu, yang
tubuhnya dipotong-potong oleh tujuh orang putranya dan “ditabur” di
kebun, sedangkan dalam kisah yang lain seorang isteri, yang mengalami nasib
yang sama dari tangan suaminya. Berikut Adolf Ellegard Jensen dalam “Mythos
und Kult bei Naturvolken, Religionwissenschaftliche Betrachtungen, Wiesbaden” 1951,
menunjuk di pulau Seram, Maluku mengenai mitos Hainuwele yang berkisah
tentang pembunuhan ritual seorang gadis ilahi. Jasad gadis itu dipotong oleh
ayahnya dan dikuburkan beberapa tempat di dalam tanah, yang kemudian
menjadi buah umbi yang tumbuh ketika itu (bandingkan Karl-Heins kohl,
hal. 307-358).
Dapat dipahami bahwa keaslian “mistis pohon kehidupan”, telah membuat
wilayah Timur diidentifikasi sebagai “negri mistis” oleh orang-orang
dari Barat yang mencari bahan rempah-rempah waktu itu. Kemudian dirasakan
sebagai sebuah “dunia dongeng”, namun mereka percaya bahwa kepulauan di
negri timur itu terletak dekat firdaus di bumi ini, yang dibayangkan penuh
dengan rempah-rempah yang harum, seperti dikatakan Wolfgang Schivelbusch
dalam “Das Paradies, der Geschmack und die Vemunlt. Eine Geschicte der
Genussmitel”, 1980, hal. 16.
Dengan demikian secara dialektik, keaslian paradigma “mistis
pohon kehidupan” menumbuhkan paradigma “negri mistis”, yang
secara sadar atau tidak sadar melanggengkan paradigma “konflik sosial”
yang terus meneguhkan paradigma “stratifikasi sosial”. Kehidupan
manusia awal di kebun firdaus (paradigma “negri mistis”) yang penuh keindahan
keabadian (“Pohon Keabadian”) lenyap seketika karena ulah seekor
Nipa (ular), sehingga pasangan awal manusia (Adam dan Eva) diusir TUHAN
dari taman keabadian/firdaus (“negri mistis”) itu. Maka pasangan awal
manusia itu dengan bersusah payah memulai kehidupan baru di luar taman firdaus,
yang kemudian dikarunia dua bersaudara (kakak-adik) Kain dan Abel.
Keaslian paradigma “mistis pohon kehidupan” dapat terunut
dari “mistis pohon keabadian” vs “mistis pohon kehidupan”
di kebun/taman firdaus, yakni si Eva dikorbankan memakan buah terlarang (“mistis
pohon Kehidupan”) melalui Ular. Eva si perempuan awal
terciptakan Allah dari rusuk Adam itu (awal mula “paradigma stratifikasi
sosial”), harus dikorbankan supaya ada kehidupan baru di luar dari
keabadian kehidupan di taman firdaus. Saat di hadapan Allah, si Adam
menuding si Eva sebagai yang memberinya memakan buah kehidupan, lalu si Eva
beralasan karena diberi makan oleh Ular, saat itu tumbuh paradigm “konflik
sosial”.
Kisah mitos Matahari Salib Utama (Surga
Positivistik) bahwa Pusat Salib dijatuhkan hingga di bawah
lingkaran untuk mewakili simbol Venus sebagai keinginan lahiriah dan simbol
wanita, Matahari Salib Kehidupan (Surga Empirik). Merupakan
ungkapan lain dari kisah Awal Penciptaan Alam Semesta dengan segala
isinya yang ada dalam Kitab Kejadian, hingga awal kejatuhan Manusia
ke dalam dosa. Dapat terpahami dalam cermatan Arysio Santos (hal.
128) mengenai mitos pengebirian primodial umat Hindu dalam simbol letusan
gunung berapi dengan takdir yang menyertai pengebirian yang mengubah palus
(lingga/penis) kosmis menjadi yoni (vulva/vagina)
kosmik. Merujuk sebutan Ile Boleng sebagai nama gunung
satu-satunya di pulau Adonara, yakni nama dari perempuan Kewae Sode Boleng
berpasangan dengan bapak bangsa Adonara Kelake Ado Pehan, tentu
menjawab mitos pengebirian primodial umat Hindu itu.
Selaras makna mitos Bapak Bangsa Adonara Kelake
(laki-laki) Ado Pehan, terpahami dari aspek genetivus. Terelaborasi oleh
Padre Yoseph Muda, SVD, bahwa Adonara: “Adon”, “Adonay”-Ra,
sebagai penjelmaan dari “Aton”, TUHAN orang Israel “Adonay” (Adonay-Ra=Dewa
Matahari), dapat termaklumi dalam maknanya (Adonara) yang hakiki.
(Dalam “ReraWulan TanaEkan”, sebuah penelitian tentang Asal Usul Budaya
Ata Lamaholot, hal. 22). Tentu tercermati pula nama Eva, sebutan untuk perempuan
pertama dari tulang rusuk Adam diciptakan TUHAN di Taman Firdaus/Taman
Eden, berhubungan dengan sebutan “Kewae” (Sode Boleng) sebagai
kata bahasa Lamaholot untuk sebutan “Perempuan” sebagai Ibu Bumi,
“Ina Tanah Ekan” dalam bahasa Lamaholot. Dalam ungkapan lain
bahasa Lamaholot tentang Tanah Ekan, dikenal juga dengan “newa”, “ewa”
dekat dengan sebutan ‘Eva” sebagai nama dari perempuan ciptaan pertama Tuhan
dari tulang rusuk si Adam.
Penutup
Dengan demikian mitos Matahari Salib Utama (Surga
Positivistik) bahwa Pusat Salib dijatuhkan hingga di bawah
lingkaran untuk mewakili simbol Venus sebagai keinginan lahiriah dan simbol
wanita, Matahari Salib Kehidupan (Surga Empirik). Dapat dipahami
makna hakikinya, bahwa Adam dan Eva di usir dari taman firdaus
karena Eva jatuh dalam mengutamakan keinginan lahiriah dengan memakan buah
terlarang (“mistis pohon kehidupan”) yang dapat dipahami dalam sebutan
purba pulau/kepulauan Solor sebagai “Laga Doni-Nusa Nipa”.
Pria/laki-laki (Kelake) simbol dewa Matahari (Adon/Ado)
utama/inti (Pehan/Pehin/Pe’in) simbol Adam si Matahari Salib/Langit sebagai
laki-laki yang hakiki, bersama Perempuan/Wanita (Kewae)
Termurni/Terseleksi/Terkebiri (Sode) dari Ile/Gunung (Boleng)
simbol Eva si Bumi/”mistis pohon kehidupan” sebagai wanita pilihan,
terpahami dalam ungkapan purba pulau Adonara sebagai “Nuha Nara
Nebon”.
Kata Atlantis dalam telusuran Arysio Santos (hal. 130),
bermula dari kata Attala (Bahasa Dravida), akar kata pertama (atta)
berarti “tapak kaki, langkah kaki, antipoda”, dan yang kedua
berarti “daratan yang tenggelam, danau di tepi laut, tanah rawa, pulau”.
Karena itu etimologi India ini dapat disamakan dengan “daratan yang
tenggelam (atau pulau atau dvipa) yang terletak di antipoda”. Etimologi
sakral ini sangat penting artinya, karena menempatkan Atlantis di Antipoda,
benua atau pulau hilang yang misterius, digambarkan dalam tradisi-tradisi
misteri seperti tradisi para Platonis dan Pitagorean.
Dari kata Adam, mengalami perubahan bentuk
pengucapan sesuai proses waktu menjadi Ado, Ad, Ata, Atl, Tlan,
Atlantis, sedangkan bahasa inggris menyebut Land berarti
Tanah. Sebutan Tanah, merupakan sebuah ungkapan yang dapat ditemukan
akarnya dalam “Tlan”, yang termaktub dalam kata “Atlantik”. Dalam
bukunya “Hombresy Estrcllas”, Oscar Fonck Sieveking mengurai
arti kata “Atlantik” itu berdasarkan bahasa Polinesia: Atl: Air,
Tlan:Tanah, Sedangkan Ti: Dilingkupi. Dengan demikian Atlantik
berarti tanah yang dilingkupi, dikelilingi oleh air (Idem Padre Yoseph Muda).
Berlanjut kisah konflik dua bersaudara di luar taman firdaus, yakni Kain vs
Abel, hanyalah sebagai replika konflik saja. Abel sebagai simbol mama/Eva,
sedangkan Kain simbol bapa/Adam, di kaji Paul Arndt dalam versi “Demon
und Padzi, Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels” 1938 , “Anthropos”
Band XXXlll, (1938), hal 1-58, diindonesiakan oleh Paul Sabon Nama “Demon
dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor”, (2002).
Sedangkan Oppenheimer menempatkan NTT (simbol Nusa Tenggara) dan Maluku,
sebagai wilayah Sunda Kecil simbol Indonesia Timur di Asia
Tenggara dalam tautan mitos Ikan Penghancur dan Tombak Geografis
sesungguhnya tersingkap kisah Permusuhan Dua Bersaudara.
Tercermati konflik kakak dengan adik (permusuhan dua bersaudara) seperti kisah
penghancuran benua Luondona-Wetrili oleh Ikan
Raksasa sebagai titisan nenek tua, karena membela si Adik. Begitupun mitos
Tombak sebagai senjata geografis, tersingkap Kulabob yang berselisih
dengan Manup saudaranya di Papua Nugini Utara. Mengakibatkan Kulabob
berlayar pergi meninggalkan adik ke arah Timur, menggunakan senjata
tombak sebagai pembajak lautan, sekaligus memisahkan daratan dan karang
(hal.408-409 dan hal.706) http://sejarah.kompasiana.com/2011/09/17/nusa-tenggara-timur-dan-maluku-dalam-mitos-sejarah-penghayutan-benua-396163.html
Dalam
dialektika Geologi, tercermati bahwa mitos penghayutan benua melalui
penghancuran oleh Ekor Ikan Raksasa sebagai bencana vulkanik (letusan
gunung berapi di dalam samudera), dan melalui senjata geografis Tombak
sebagai bencana vulkanik (letusan gunung berapi di daratan). Pemahaman
ini tentu membantu upaya menyingkap misteri benua yang hilang
sebagai akibat akumulasi letusan gunung berapi baik di dalam samudra maupun
di daratan mengepung wilayah Poros. Dapat tertelusuri dari aspek
geologis pertemuan lempeng-lempeng benua menghimpit lempeng Benua
Atlantis (saling bertubrukan: Australia dari selatan, Amerika
dari barat, dan Asia akibat tubrukan India membentuk Pegunungan Himalaya
menyebabkan tubrukan lempeng Asia Tenggara dari atas), maka terhanyutlah
Benua Atlantis. Terhanyut Benua Atlantis akibat terkepung tubrukan
lempeng tiga benua (Australia dari selatan, Amerika dari Barat, Asia Tenggara
dari Utara akibat tubrukan India), memaksa muncul listofer (daratan
baru) yang tertebar berbagai pulau-pulau di wilayah Poros (bandingkan garis
Wallace-Weber), serta berbagai pulau yang berserakan di zamudera
Pasifik (Bandingkan Alan Woods dan Ted Grant dalam “REASON
IN REVOLT: Revolusi Berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Moderen”, 2006,
hal. 332) http://sosbud.kompasiana.com/2011/09/20/dialektika-geologi-nusa-tenggara-maluku-dan-misteri-india-dalam-mitos-permusuhan-dua-bersaudara-mengenai-penghayutan-benua/
Benua yang mistis itu sebagai bermukim para dewa dikenal dengan
benua Atlantis yang hilang dengan listofernya, dalam ungkapan
purba “Tadon Tanah Geto-Nuha Nara Nebon” untuk pulau Adonara
sebagai simbol dari daratan baru benua yang hilang. Terungkapkan melalui pulau Lembata.
dikenal sebagai “Lomblen” untuk menjelaskan pula listofer (daratan baru)
dari benua yang hilang itu. Pulau Lembata bermakna bencana pulau
Lepan dan pulau Batan (Bencana Keroko Puken). Benua Atlantis
yang dahulu kediaman para Dewa, tenggelam/hilang , sebagai
pengulangan taman firdaus yang hilang karena dosa asal dalam symbol peran se
ekor ular (nipa) dalam ungkapan kuno “Laga
Doni-Nusa Nipa” untuk pulau Solor.
Dalam paradigma “keaslian mistis pohon kehidupan” seperti
yang dialami bapak bangsa Israel Abraham sebagai bentuk cobaan Tuhan
kepadanya , sehingga pengurbanan darah anaknya Ishak diganti Tuhan dengan
kurban bakaran seekor anak Domba itu, ternyata mengurbankan manusia
sesungguhnya benar-benar terjadi di “negri mistis”, negri simbol daratan
baru (listofer) benua atlantis yang hilang itu, sampai kekinian. Melalui
perang tanding atau bentuk konflik sosial yang lain senantiasa melanggengkan
paradigma “konflik sosial” demi menegakan hak (status, paradigm “stratifikasi
sosial”) atas sejengkal tanah di atas daratan baru benua yang hilang itu.
Maka di setiap zaman kehidupan generasi harus terulang pembunuhan manusia
untuk memulihkan setiap jejak langkah kehidupan generasi baru di pulau
itu. Keyakinan itu yang melekat di sebagaian hati orang kepulauan Solor sampai
kini, yang kurang dari seabad yang lalu (81 tahun lalu) diungkap pula
oleh Paul Arndt dalam mengkaji “Demon dan Paji, Dua
Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor” , (hal.
104, 106 ).
Tantangan untuk generasi ke depan, adalah bagaimana menjadikan kedasyatan
keaslian keyakinan bertradisi, selalu dalam keteguhan iman
beragama yang selalu menjadi jiwa dari segala kecerdasan
ilmu pengetahuan dan teknologi, Religio Omnium
Sciantiarum Anima, ROSA!!!
Dataran
Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, 17 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar