Kamis, 19 September 2013

Benua Atlantis yang Hilang dan Listofer-nya: dalam makna Adonara-Nuha Nara Nebon, Solor-Nusa Nipa, Lembata-Lomblen


Oleh Chris Boro Tokan

Kata kunci: Dalam makna Adonara Nuha Nara Nebon,  makna Solor-Nusa Nipa, makna Lembata-Pulau  Lomblen, terpahami dan terungkap misteri benua Atlantis yang  hilang dan listofer-nya.

Pendahuluan
      Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata,   di Provinsi Nusa Tenggara Timur, masing-masing dikenal dengan nama kepurbaa-kalaannya, yang sampai kini tetap dalam memori sebagian  masyarakatnya yang menjadi anak-anak zaman-nya. Adonara di kenal dengan Nuha Nara Nebon, Solor dengan Nusa Nipa, Lembata dengan Lomblen.
     Adonara yang sering diungkapkan dalam “Tadon Tanah Geto-Nuha Nara Nebon”, bermakna sebuah pulau (nuha) yang timbul  karena putus/terbelah-nya (geto)  daratan (tanah)  kediaman dewa (aton, adon, tadon), sehingga seluruh inti-sari (manusia, nara) dari daratan itu kembali bersatu/berkumpul (nebon) ke sumber-nya yang tersimbol di pulau itu.

    Solor yang di ungkap juga dalam “Laga Doni-Nusa Nipa”,  bermakna sebuah pulau (nusa) yang timbul karena  tanah-ekan (Doni =Dunia) yang pecah/hancur (Laga), sebagai akibat dari dosa yang ditimbulkan oleh godaan ular (Nipa). Sebutan Nipa ini juga menjadi nama purba dari pulau Flores. Maka itu Petu Sareng Orin Bao alias Pater Piet Petu, SVD dalam bukunya: “NUSA NIPA WARISAN PURBA” (1969).   (hal 221), mengungkapkan kegusarannya, merasa aneh, kenapa nama Nusa Gede (Nusa Nipa), Pulau Flores, dinamai selaras dengan nama-nama nusa cilik, misalkan dengan nama nusa  Solor, nusa Ende. (catatan penulis: Nusa Ende adalah Pulau Ende, sebuah pulau kecil berhadapan dengan kota Ende).  
    Lembata yang sering disebut dalam nama kepurba-kalaan “Lomblen”, sering huruf n berubah pengucapan menjadi huruf m, sehingga menjadi “lomblem” . Tercermati kata  Lomblen terbentuk dari dua patah kata yakni: “lomb”, dan “len” yang sering juga berubah menjadi “lem”. Sesungguhnya suku patah kata “lomb” ini bermula dari kata “lomek” dan kata “lobek” yang berarti “tenggelam”. Sedangkan suku patah kata len itu bermula dari kata “len’na” bersinonim dengan “lem’na” yang berarti “tersandar”/“tertahan” bersinonim “tertempel”/”terlekat”/”tersangkut” dalam makna bahasa Indonesia. Maka makna dalam nama  Lembata secara harafiah sebagai sebuah daratan yang tenggelam namun tertahan.
      Dengan demikian  sebutan purba “Tadon Tanah Geto-Nuha Nara Nebon” untuk pulau Adonara, juga  ungkapan kuno  “Laga Doni-Nusa Nipa” untuk pulau Solor, begitupun penamaan unik  “Lomblen”  kepada pulau Lembata,  menggambarkan listofer (daratan baru) sebagai simbol seluruh pulau di NTT, NTB, Maluku, Sulawesi, berbagai Kepulauan di Pasifik, Madagaskar, Selandia Baru, Philipina sebagai wilayah dari  Atlantis, sebuah Benua yang dahulu kediaman para Dewa, tenggelam/hilang , sebagai pengulangan taman firdaus yang hilan karena dosa asal dalam symbol peran se ekor  ular (nipa). Jika sebutan purba pulau Flores dengan “Nusa Nipa”, tentu tidak lain membuktikan peran Ular di zaman itu untuk menjatuhkan manusia ke dalam dosa asal, membuat pasangan manusia awal terusir dari taman firdaus, terulang dalam bencana dasyat penenggelaman benua Atlantis.
      Sedangkan  nama Adonara sendiri sesungguhnya hasil evolusi ucapan adam, adon, ad, at, aton, atl, atlantis, bermakna hakiki putra dewa, putra matahari  http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/24/menelusuri-makna-hakiki-kata- adonara -dalam-adonai-elohim-dan-yehovah-sebutan-tiga-gelar-allah/. Solor terpahami dalam makna solar- polar sebagai matahari-bulan, sehingga nama Solor menjelaskan makna kepercayaan manusia atlantis kepada matahari-bulan sebagai, sinar-terang-cahaya, simbol dari Allah   http://filsafat.kompasiana.com/2013/08/17/rahasia-atlantis-matahari-dalam-makna-adonara-solor-mengungkap-indentitas-india-mesir-cina-israel-yunaniroma-arab-sebagai-replika-salib-atlantis--584773.html 
       Lembata itu sendiri menyimpan makna bencana alam. Terbentuk dari  nama pulau Lepan dan pulau Batan. Kedua pulau itu terletak di antara pulau Lembata dan kepulauan Alor. Pulau Lepan tenggelam dan menyisahkan pulau Batan yang tidak berpenghuni. Dalam mitos kebencanaan  menjadi tempat  transit para leluhur orang-orang Lamalera, sebelum ada bencana yang ditimbulkan oleh Ikan Raksasa,  yang akhirnya  mengungsikan mereka ke kediaman mereka  di desa  Lamalera kekinian,  pulau Lembata (Gregorius Keraf,  “Morfologi Dialek Lamalera”, 1978, hal.227-239)
 Penelusuran beberapa Literatur dan Dialektika Paradigma
        Melalui penelusuran kepustakaan, tertemukan satu-satunya literatur menyebut Adonara dengan sebutan purba “Nuha Nebon”,   dalam “Gezedenische van Inlander Nuha Nebo” 1930 oleh H.v.d. Hulst, SVD. Sepanjang ini belum ditemukan literature lain yang mengunakan sebutan purba “Nuha Nebon”, untuk Adonara. Sedangkan J.D.H Beckering 1911 telah menyebut Adonara  dan Lomblem dan kepulauan Solor, “Beschrijving der Eilanden Adonara en Lomblem, Behoorende tot de Solorgroep”, dalam T.A.G 28, hlm 167. Jauh sebelumnya  J.M Kluppel, 1873 telah menulis Solor dalam “De Solor Eilanden”, T.B.G 20, hlm. 378. Antropolog Ernst Vatter 1932, menulis “Ata Kiwan”, tentang Manusia Adonara, Solor, Lembata sampai Pantar (Alor). Misionaris Jerman  Paulus Arndt SVD (Kongregasi Societas Verbi Divini)  telah mempublikasikan “Demon und Padzi, Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels” 1938 , “Anthropos” Band XXXlll, (1938), hal 1-58, diindonesiakan  “Demon dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di  Kepulauan Solor”, (2002).
        Dalam “Gezedenische van Inlander Nuha Nebo” 1930 oleh H.v.d. Hulst, SVD, dapat diketahui inti isinya yang digambarkan oleh si pemilik buku itu Matheos Kopong (seorang sejarawan, pensiunan guru, produk awal Fakultas Keguruan Jurusan Sejarah Universitas Nusa Cendana Kupang, era  1970an, kini menetap di Kupang), bahwa memetakan pulau itu sebagai penuh dengan  konflik sosial dan strafikasi sosial. Paradigma yang tergambarkan demikian itu, maka si penulis buku itu (H.v.d. Hulst, SVD), berpesan kepada para pemilik buku itu (yang sangat terbatas sekali jumlahnya di Adonara saat itu), bahwa “sebelum hilang paradigma  konflik sosial dan stratifikasi social yang ada di pulau itu, maka sekali-kali buku itu tidak boleh menjadi pengetahuan umum masyarakat Adonara”.

     Paradigma yang diangkat  H.v.d. Hulst itu diungkap pula Ernst Vater dalam “Ata Kiwan” 1932,  yakni Adonara sebagai sebuah pulau   dalam Atlas Dunia tidak terlihat, namun manusia yang mendiami berkarakter unik. Karakter manusianya itu digambarkan sebagai sesuatu yang tidak dapat masuk di akal buat orang Eropa, karena rangsangan dan reaksi (tindakan/kelakuan) tidak sepadan apabila dicermati dari sebab yang mengakibatkan  tindakan itu, nampaknya tidak mempunyai hubungan yang masuk akal (Ata Kiwan, Bibiliographisches Institut Ag/Leipzig, 1932, diindonesiakan oleh S.D. Syah dengan judul yang sama, 1984, hal. 24-25).
      Warisan paradigma  itu yang antara lain  menyebabkan watak manusia adonara menjadi unik. Ada paradigma orang watan vs orang kiwan atau orang pante vs orang dulhi. Orang suku Paji vs Orang suku Demon sebagai sebuatan lain dari orang watan vs orang kiwan atau orang pante vs orang dulhi.  Artinya orang suku Paji yang teridentifikasi sebagai orang pantai, pesisir (ata watan/ata pante), perairan/laut (orang laut, manusia laut) vs orang suku Demon yang terindetifikasi sebagai orang daratan pedalaman (ata dulhi/ata kiwan), pegunungan (orang gunung, manusia gunung). Paradigma yang demikian (stratifikasi dan konflik sosial)  dikaji secara spesifik oleh seorang Misionaris Jerman  Paul Arndt SVD (Kongregasi Societas Verbi Divini),   mempublikasikan “Demon und Padzi, Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels” 1938 , “Anthropos” Band XXXlll, (1938), hal 1-58, diindonesiakan oleh Paul Sabon Nama “Demon dan  Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di  Kepulauan Solor”, (2002).
         Stratifikasi Sosial (ada orang perairan/laut/pante vs orang darat/gunung/kiwan/dulhi) dan Konflik Sosial (dalam perang Demon vs Paji)  merupakan dua variable social yang saling dialektik, serta merupakan produk sebuah peradaban dan kebudayaan yang paling tua (terawal).  Permusuhan Dua Bersaudara yang dikaji Paul Arndt, sesungguhnya pengulangan (copy) dari konflik  Kain  dan Abel awal mula sebagai konflik budaya Pertanian (Kain si Petani) vs budaya Peternakan (Abel si Penggembala). Paul Arndt menjadi dilematis dalam kajiannya itu tentang apakah sesungguhnya itu merupakan sebuah watak asli manusia di Kepulauan  Solor (Adonara-Solor-Lembata)? Sebuah keaslian watak yang sesungguhnya menjadi watak seluruh manusia di Kepulauan Solor Purba (NTT,NTB, Maluku, Sulawesi, bebagai Kepulauan di Pasifik, Phlipina, Madagaskar, Selandia Baru) sebagai listofer dari Benua yang hilang) atau karena pengaruh watak Hindu dari India?
        Namun akhirnya Paul Arndt menegaskan  bahwa  adanya hubungan  antara masyarakat Kepulauan Solor dengan Suku Munda di India. Suku Munda yang dikelilingi oleh orang-orang Hindu dari masa sebelum Budhisme, yakni  Brahmanisme, (hal 78). “Semuanya itu telah cukup menunjukan, bahwa Hinduisme mempunyai pengaruh yang besar di Kepulauan Solor”, demikian Paul Arndt,  dalam kesimpulannya pada kalimat terakhir (hal. 83).    Ditegaskan  bahwa Doni adalah kebalikan dari Indo dan menunjukan adanya suatu hubungan dengan orang Hindu dalam masa yang kemudian. Kalau demikian orang Munda yang telah mengungsi ke Kepulauan Solor, mungkin masih ada di India dalam abad-abad pertama masa Budhisme. Pada saat ini  Shiwa dan Wisnu belum mempunyai perkembangan seperti yang kita temukan kemudian di Jawa (hal.92-93).
       Dalam konteks Teori Atlantis Arysio Santos dan Teori  Sundaland Oppenheimer, maka sesungguhnya yang benar tentu pengaruh Peradaban Lamaholot (Kepulauan Solor) yang besar  terhadap Hinduisme, bahkan sebelum Hinduisme yakni Brahmanisme di India http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/27/peradaban-lamaholot-di-nusa-tenggara-timur-dan-brahmanisme/,. Begitupun masyarakat Ngadha di Flores Tengah sebagai wilayah Lamaholot Purba, tentu mempunyai pengaruh yang besar terhadap Hinduisme bahkan Brahmanisme di India.  Terjelaskan  melalui tiga siklus peradaban dunia yang hilang dikarenakan bencana alam yang sangat dasyat: siklus 1 pada 75 ribu tahun lalu mengakhiri Atlantis Lemuria, siklus 2 pada 11 ribu tahun lalu mengakhiri Atlantis Sang Putra, siklus 3 terjadi 3ribu tahun lalu mengakhiri Replika atlantis (bandingkan Arysio Santos, "ATLANTIS The Lost Continent Finally Found", The Devinitive Localization  of  Plato's  Lost  Civilization” (2005), diIndonesiakan menambah subjudul: INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN DUNIA (2009) hal 96 s/d 160 dan  hal 574 s/d 592).
     Pendapat Paul Arndt, SVD  tentang pengaruh Hinduisme di Ngadha maupun di Kepulauan Solor,  tentu hanya dapat di pahami dalam siklus peradaban 3 tentang mencairnya es di puncak pegunungan Himalaya. Siklus 3 sebagai bencana yang membuat orang dari India dan sekitarnya mengungsi,  antara lainnya ke Kepulauan Solor,  turunan kekinian menyebut diri Ata Sina Jawa Papan Haka. Namun sesungguhnya jauh sebelumnya terjadi bencana dasyat dalam Siklus Peradaban 1 dan 2, yang membuat orang-orang kepulauan Solor sebagai bagian wilayah Atlantis yang hilang,  ada yang mengungsi dan terdampar di india (bandingkan Arysio Santos hal 59-160).
       Seperti Stephen Oppenheimer  dalam bukunya “EDEN IN THE EAST The Drowned Continent of Southeast Asia” 1998, diindonesiakan  “EDEN IN THE EAST, SURGA DI TIMUR, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara”  2010, melalui kajian Gen berusaha menempatkan semua  bukti  kerangka dan mtDNA bersama-sama,  model yang paling sederhana bagi perluasan Polinesia akhir 3.500 tahun lalu adalah bahwa ini muncul dari sebuah populasi  Indonesia Timur yang telah ada sebelumnya, bergerak dengan cepat ke timur, lewat pulau Admiralties, melewati daratan  Papua Nugini Utara tapi mengambil beberapa agen Melanesia sebelum tiba di Samoa. Hal ini merupakan model  yang sama  seperti telah ditemukan dari gabungan arkeologi dan linguistic (bab 2 hal. 53-96 dan bab 5 hal. 191-244). Sudut pandang sebuah asal-usul  Indonesia Timur local berusia 17.000 tahun bagi motif Polinesia yang  dibawa oleh  orang, para penutur Austronesia  ke Pasifik sekarang mulai membantu tersingkap misteri negeri asal Austronesia (hal. 280). Motif Polinesia tiga kali (baca: gen nenek, ibu, anak, pen), meskipun dibatasi terutama untuk para penutur  Melayu-Polinesia dan Oseania, masih terhubung dengan penghapusan 9-bp Asia Tenggara lainnya, tapi pada lebih dari satu pembuangan. Kajian tentang ketiga situs subtitusi ini mengungkap bahwa mereka membentuk sebuah garis maternal Asia yang berurutan. Yang pertama dari tiga substitusi ini mungkin terjadi setelah penghapusan 9-bp, dan sebelumnya terbawa ke Amerika. Perkiraan-perkiraan bagi dua peristiwa mutasi ini kembali sebanyak 60.000 tahun. Subtitusi pertama yaitu nenek Asia, adalah bentuk dominan penghapusan 9-bp di antara penduduk asli Amerika sekarang, dan tersebar luas dan lazim di seluruh  Asia Tenggara. Mungkin ini berasal dari antara para leluhur  orang-orang Pribumi bertutur  Orang Asli Austro-Asiatik di Asia Tenggara, semuanya  hari ini mempunyai jenis nenek Asia substitusi pertama, tanpa varian-varian berikutnya. Meskipun demikian, nenek Asia juga bisa telah muncul lebih jauh ke utara di sepanjang pantai Cina Selatan 60.000 tahun lalu (hal. 281), (bandingkan catatanku http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/31/homo-floresiensis-penegasan-manusia-matahari-solor-purba-nusa-tenggara-timur-maluku-dengan-pembuktian-oppenheimer/ 
        Oppenheimer menunjukan dengan merangkum bukti antara lain dari penanda-penanda genetis Adam dan Eva  bagi sebuah penyebaran timur ke barat sebagai berikut: penghapusan 9-bp Asia dibawa ke India selatan sebagai ibu Asia Tenggara, seorang wanita yang mungkin menuturkan bahasa Austronesia. Klan-klan maternal kelompok F dalam klasifikasi Antonio Torroni, yang lebih jelas  tertaut kepada para penutur  Austro-Asiatik di daratan Asia menyebar secara radial  (menjari) ke utara ke Indo-Cina dan Tibet, ke barat yaitu India Utara…. (hal.302). .. Wilayah yang terpengaruh menyebar dalam sebuah gelombang  dari Pasifik Selatan di tenggara, melalui Asia Tenggara, Cina selatan, India, Arab, Timur Tengah, dan akhirnya ke mediterania di Barat Laut (hal.303). Dengan demikian dari telusuran Oppenheimer, bahwa misteri Benua yang Hilang atau Surga yang Hilang itu sesungguhnya berada di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi sebagai bagian kepulauan Asia Tenggara (Bandingkan   http://sejarah.kompasiana.com/2013/01/30/benua-yang-hilang-tempat-penciptaan-dan-kediaman-adam-eva-beserta-listofernya--529175.html.
 Merujuk  paradigma “Negri Mistis” rempah-rempah  dan “ Mistis Pohon Kehidupan”
      Karl-Heins Kohl dalam karya-nya “Der Tod der Reisjungfrau, Mythen, Kulte und Alianzen in einer ostindonesischen Lokalkultur”, di Indonesiakan oleh Paul Sabon Nama “RARAN TONU WUJO  Aspek-Aspek Inti Sebuah Budaya Lokal di Flores Timur” (2009), menjelaskan bahwa: “Demikian banyaknya kontak antara Flores Timur dan kepulauan Solor-Alor dengan kebudayaan dan bangsa-bangsa asing, yang pengaruhnya dapat dilihat pada penampakan lahiriah penduduk pulau ini, disebabkan oleh kedekatannya dengan Timor  dan Maluku. Selama beberapa abad kelompok pulau-pulau ini, yang terkadang terpisah hanya beberapa ratus meter, merupakan tempat pelindung yang aman dalam angin badai bagi para pelaut dan pedagang dalam  pelayaran mereka dari kepulauan Sunda Besar di barat menuju pulau rempah-rempah di timur. Perdagangan buah pala dan cengkeh dari kepulauan di Indonesia Timur dengan wilayah Laut Tengah sudah dilakukan dalam masa purba. … Juga dalam masa Madya Kala hubungan antara Eropa dengan kepulauan rempah, yang kedengaran laksana dongeng tidak pernah putus sama sekali. Adalah para pelaut dan pedagang Melayu, Arab, India dan Cina yang melayari wilayah kepulauan Indonesia timur ini dan menjadi perantara perdagangan dengan Eropa. Menjelang akhir abad ke 13 Marco Polo, yang menyertai sebuah kelompok pedagang cina, mencapai pulau-pulau Indonesia bagian barat. Dialah orang Eropa pertama yang menyampaikan berita tentang perdagangan rempah-rempah dan kayu cendana dari pulau-pulau yang terletak jauh ke timur. Di dunia Barat, kepulauan rempah-rempah yang jauh itu sudah menjadi tempat yang mistis. Orang percaya bahwa kepulauan di negri timur itu terletak dekat firdaus di bumi ini, yang dibayangkan penuh dengan rempah-rempah yang harum. Dalam zaman Madya Kala dan juga di waktu-waktu yang kemudian, lada, kayu manis, cengkeh, pala, cendana berupa ‘utusan dari sebuah dunia dongeng’.”(hal 25-26, dengan merujuk Ruth Barnes, The Ikat Textiles of Lamalera. A Study of an Eastern Indonesian Weaving Tradition, 1989, hal 124-125, yang merujuk J.I Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, 29 B.C. to A.D 641, Oxford 1969).
       Paradigma “negri mistis” yang saling meneguhkan penandasan Arysio Santos mengenai wilayah Indonesia yang sesungguhnya menjadi wilayah Atlantis yang Hilang, maka menempatkan posisi geografis   kepulauan Nusa Tenggara (NTB dan NTT) dan  Kepulauan Maluku menjadi sangat penting, sebagai pembuka tabir misteri Surga Empirik yang hilang itu.  Seperti elaborasi Arysio Santos terhadap sebutan Pulau versi Plato, yakni nesos dalam bahasa Yunani, sesungguhnya merujuk kepada pulau-pulau versi dunia di Indonesia. Kata nesos berarti tanah yang tenggelam dari kata dvipa yang digunakan oleh orang-orang Hindu, berarti juga benua (hal. 22).

     Telusuran lebih jelas tentang kata insula dari bahasa Latin dan kata nesos dari bahasa Yunani, pada dasarnya dari kata incu bahasa Dravida, berarti tanah yang berair, rawa. Menurut Diodorus Siculus, atlantis yang tenggelam  dalam rawa Tritonides, sekaligus menegaskan bahwa Atlantis adalah benua yang tenggelam. Berikut kiasan untuk surga atalantis yang hilang dikenal dengan Taman Hesperides (atau Atlantides) sesungguhnya bermakna taman yang memiliki dua perairan dari bahasa Dravida yang merujuk makna kata dvipa=dvi-ap, berarti memiliki air di kedua sisi (hal 22-23).
     Tercermati makna dua perairan dari kata dvipa=dvi-ap (bahasa Dravida) itu merujuk kepada perairan samudra Pasifik dengan samudra Hindia. Dua perairan yang menjadi gerbang masuk dari Timur menuju Barat atau dari Barat menuju Timur. Gerbang masuk,  oleh Plato menegaskan sebagai salah satu indikator geografis terletak Benua Atlantis yang Hilang (Surga Empirik yang Hilang).  Merujuk keyakinan Buddha Amitabha menandaskan bahwa  itu wilayah sesungguhnya Surga Buddha tempat Matahari Terbit, yakni di Barat (Arysio Santos, hal. 36).  
   Dapat termaklumi bahwa Barat yang dimaksudkan sebagai tempat Surga Buddha itu, sesungguhnya Barat Terjauh (Kepulauan Nusa Tenggara), dan di situ juga Timur Terjauh  (Kepulauan Maluku). Kedua wialayah ini  terletak pada poros bumi, dua ujung terjauh dunia bertemu: yakni penyatuan ujung  Timur dan ujung Barat dari Bumi. Timur Terjauh dan Barat Terjauh menunjuk kepada satu wilayah/ satu lokasi dalam pengertian purba.  Mengingat Bumi berbentuk bulat, sehingga ujung Timur Terjauh dan ujung Barat Terjauh itu menyatu menjadi satu tempat/satu wilayah (Arysio Santos, hal.27-28). Wilayah itu adalah terbit dan terbenamnya Matahari, lokasi Surga Empirik yang Hilang, tempat Taman Eden (Kebun Firdaus yang Hilang), terletak ibukota kekaiseran Atlantis yang Hilang.
     Timur Terjauh menjadi wilayah  kepulauan Maluku penghasil rempah-rempah  (Cengkeh dan Pala), komoditi yang tidak ada duanya di bumi. Barat Terjauh dalam hal ini Nusa Tenggara Timur wilayah penghasil Kayu Cendana yang kualitas kewangiannya sampai kekinian tidak tertandingi di dunia. Wilayah penghasil rempah-rempah dan bahan wewangian antara lain menjadi bagian fakta flora penegasan gagasan Plato tentang ciri Benua Atlantis yang Hilang (Arysio Santos,hal. 134). Dengan demikian fakta flora dan fakta letak geografis tentang Benua Atlantis yang Hilang (Surga Empirik yang Hilang), seperti yang digagaskan Plato dan dielaborasi Arysio Santos, sulit terbantahkan untuk menempatkan Nusa Tenggara dan Maluku sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sekaligus sebagai bukti nyata bahwa Atlantis yang Hilang itu menjadi pewaris yang syah: adalah Indonesia http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/24/cendana-cengkeh-pala-sebagai-pembuka-tabir-misteri-geografis-atlantis-yang-hilang/.
       Paradigma lain yakni “ mistis pohon kehidupan”, Oppenheimer dalam tahun 1996 mengamati adat istiadat  membawa pohon ‘hutan’ yang dipilih dengan saksama  untuk dijadikan pusat pemujaan di desa dari suku Munda (India) dan Eropa, ternyata  muncul kembali ribuan mil ke arah timur di antara budaya zaman megalitikum di Nusa Tenggara di Indonesia Timur. Kita juga menemukan contoh yang sama di Flores dan Timor. Tiang Ngadhu milik suku Ngada di dataran tinggi  Flores adalah  batang pohon yang telah dipilih dengan saksama  dan dengan semangat di bawah kembali ke desa. Mereka menganggap batang pohon tersebut panas dan berbahaya sampai pohon tersebut dibelah-belah, ditutupi dengan ukiran, dan diletakan di tengah desa. Lambang  lingga yang tidak secara langsung di tiang bendera dan pohon karma di Eropa dan Asia tenggara, namun nampak di Munda itu, menjadi lebih jelas lagi di pohon ngadhu (Flores Tengah) yang diletakan sejajar dengan rumah rahim ‘wanita’ yang bernama Bhaga (hal.659).
     Pengamatan Oppenheimer diinspirasi oleh Sir James Frazer dalam karyanya The Goulden Bough,1949, hal. 342 yang menemukan versi ritual taman ‘Adonis’ di suku Asli berbahasa Austro-Asiatik (bandingkan http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/27/bahasa-austronesia-sumber-asli-bahasa-dunia-dan-awal-mula-penyebaran/)  di Bengal yang langsung mengarah ke asal mula ritual dalam pemujaan pohon. Ketika tiba waktunya menanam benih padi di suku Oraon dan Munda di Bengal, sekelompok pria dan wanita muda pergi ke hutan dan menebang ‘pohon Karma’ dan membawanya kembali ke desa dengan banyak sekali ritual. Di desa, pohon ajaib tersebut ditaman di tengah tempat menari  dan penduduk desa menari mengelilingi pohon tersebut dengan membawa pita seperti tiang bendera. Beberapa pot yang berisi  benih pohon barley yang tumbuh dengan sangat cepat kemudian dipersembahkan kepada pohon tersebut untuk memastikan pohon barley tersebut tumbuh dengan baik. Pohon inilah yang kemudian dibuang ke air dan para roh hutan kecil tersebut kemudian bertanggungjawab atas panen mereka. Secara kebetulan , lambang lingga yang tidak secara langsung terlihat dari adat istiadat menari mengelilingi tiang di Eropa dan Asia Tenggara  menjadi terlihat dengan jelas dalam  versi suku Oraon dan Munda di Bengal. Lebih jauh Frazer menolak kalau pohon Karma suku Munda India adalah nenek moyang dari Adonis (Oppenheimer, hal. 658).
      Dengan penolakan Frazer kalau pohon Karma suku Munda India bukanlah nenek moyang dari Adonis, maka  melalui pengamatannya atas pohon ngadhu milik suku Ngadha di di dataran tinggi  Flores,   Oppenheimer menegaskan bahwa kalau begitu Frazer telah menemukan ujung dari berbagai macam keyakinan yang berasal dari Asia Tenggara ini, karena di sanalah suku Munda berasal (bandingkan hal.658). Dalam arti terpahami bahwa suku Munda berasal dari pulau Flores (Nusa Nipa) bagian kepulauan Solor Purba, yang mengungsi ke India di saat  beralngsung siklus peradaban ke 1 maupun ke 2. Sedangkan pendapat Paul Arndt bahwa telah  berpengaruh Hinduisme di Ngadha maupun di Kepulauan Solor karena ada penyebaran suku Munda dari India,  tentu hanya dapat di pahami dalam siklus peradaban 3 tentang mencairnya es di puncak pegunungan Himalaya. Siklus 3 sebagai bencana yang membuat orang dari India dan sekitarnya mengungsi,  antara lainnya ke Kepulauan Solor.
 Keaslian paradigma  “mistis pohon kehidupan”
     Menelusuri keaslian paradigma  “mistis pohon kehidupan”, seperti ditunjukan  Karl-Heins Kohl  yang terinspirasi dari Ernst Vater dengan “Ata Kiwan” 1932,  melalui dewi padi di seluruh pulau Flores, antara lain dalam mitos Raran Tonu Wujo, “Jalan Tonu Wujo” tentang asal mula Padi sebagai pohon kehidupan di wilayah Lewo Lema- Tanjung Bunga Flores Timur, bermula dari pengurbanan seorang gadis yang bernama lengkap Tonu Wujo Nogo Gunu Ema Hingi. Juga P. Saren Orin Bao tentang Tata berladang tradisional dan pertanian rasional suku bangsa Lio,  1992, menunjuk asal-usul padi  di sebuah kampong Titi Poi Mage Lio, melalui mitos tentang pembunuhan seorang gadis padi yang semi ilahi, yang dihormati dalam berbagai upacara agraris dan dalam tradisi lisan dikenal sebagai Ine Pare.  Sedangkan  Paul Arndt dalam “Religion auf Ost-Flores, Adonare und Solor”, 1951, hal. 204-206 menunjuk tentang asal-usul jagung dan padi di pulau Adonara dalam kisah seorang Ibu, yang tubuhnya dipotong-potong oleh  tujuh orang putranya dan “ditabur” di kebun, sedangkan dalam kisah yang lain seorang isteri, yang mengalami nasib yang sama dari tangan suaminya. Berikut Adolf Ellegard Jensen dalam “Mythos und Kult bei Naturvolken, Religionwissenschaftliche Betrachtungen, Wiesbaden” 1951, menunjuk di pulau Seram, Maluku mengenai mitos Hainuwele yang berkisah tentang pembunuhan ritual seorang gadis ilahi. Jasad gadis itu dipotong oleh ayahnya dan dikuburkan beberapa tempat di dalam tanah, yang kemudian  menjadi buah umbi yang tumbuh ketika itu  (bandingkan Karl-Heins kohl, hal. 307-358).
       Dapat dipahami bahwa keaslian “mistis pohon kehidupan”, telah membuat wilayah Timur diidentifikasi sebagai “negri mistis” oleh orang-orang dari Barat  yang mencari bahan rempah-rempah waktu itu. Kemudian dirasakan sebagai sebuah “dunia dongeng”, namun mereka percaya bahwa kepulauan di negri timur itu terletak dekat firdaus di bumi ini, yang dibayangkan penuh dengan rempah-rempah yang harum, seperti dikatakan Wolfgang Schivelbusch dalam “Das Paradies, der Geschmack und die Vemunlt. Eine Geschicte der Genussmitel”, 1980, hal. 16.
      Dengan demikian  secara dialektik,  keaslian paradigma  “mistis pohon kehidupanmenumbuhkan paradigma “negri mistis”, yang secara sadar atau tidak sadar  melanggengkan paradigma “konflik sosial” yang terus meneguhkan paradigma “stratifikasi sosial”.  Kehidupan manusia awal di kebun firdaus (paradigma “negri mistis”) yang penuh keindahan keabadian (“Pohon Keabadian”) lenyap seketika  karena ulah seekor Nipa (ular), sehingga pasangan awal manusia (Adam dan Eva)  diusir TUHAN dari taman keabadian/firdaus (“negri mistis”) itu. Maka pasangan awal manusia itu dengan bersusah payah memulai kehidupan baru di luar taman firdaus, yang kemudian dikarunia dua bersaudara (kakak-adik) Kain dan Abel.  Keaslian paradigma “mistis pohon kehidupan”  dapat terunut dari “mistis pohon keabadian” vs  “mistis pohon kehidupan” di kebun/taman firdaus, yakni si Eva dikorbankan memakan buah terlarang (“mistis pohon Kehidupan”) melalui Ular.    Eva si perempuan awal terciptakan Allah dari rusuk Adam itu (awal mula “paradigma stratifikasi sosial”), harus dikorbankan supaya ada kehidupan baru di luar dari keabadian kehidupan di taman firdaus.  Saat di hadapan Allah, si Adam menuding si Eva sebagai yang memberinya memakan buah kehidupan, lalu si Eva beralasan karena diberi makan oleh Ular, saat itu tumbuh paradigm “konflik sosial”.
       Kisah mitos Matahari Salib Utama (Surga Positivistik) bahwa Pusat Salib dijatuhkan hingga di bawah lingkaran untuk mewakili simbol Venus sebagai keinginan lahiriah dan simbol wanita, Matahari Salib Kehidupan (Surga Empirik). Merupakan  ungkapan  lain dari kisah Awal Penciptaan Alam Semesta dengan segala isinya yang ada dalam Kitab Kejadian,  hingga  awal kejatuhan Manusia ke dalam dosa. Dapat terpahami  dalam cermatan Arysio Santos (hal. 128) mengenai mitos pengebirian primodial  umat Hindu dalam simbol letusan gunung berapi dengan takdir yang menyertai pengebirian yang mengubah palus (lingga/penis) kosmis menjadi yoni (vulva/vagina) kosmik.  Merujuk sebutan Ile Boleng sebagai nama gunung satu-satunya di pulau Adonara, yakni nama dari perempuan Kewae Sode Boleng berpasangan dengan bapak bangsa Adonara Kelake Ado Pehan, tentu  menjawab mitos pengebirian  primodial umat Hindu itu.
       Selaras makna mitos  Bapak  Bangsa  Adonara  Kelake (laki-laki) Ado Pehan, terpahami dari aspek genetivus. Terelaborasi oleh Padre Yoseph Muda, SVD, bahwa  Adonara: “Adon”, “Adonay”-Ra, sebagai penjelmaan dari “Aton”, TUHAN orang Israel “Adonay” (Adonay-Ra=Dewa Matahari), dapat  termaklumi dalam  maknanya (Adonara) yang hakiki. (Dalam “ReraWulan TanaEkan”, sebuah penelitian tentang Asal Usul Budaya Ata Lamaholot, hal. 22). Tentu tercermati pula nama Eva, sebutan untuk perempuan pertama  dari tulang rusuk Adam diciptakan TUHAN di Taman Firdaus/Taman Eden, berhubungan dengan sebutan “Kewae”  (Sode Boleng) sebagai  kata  bahasa Lamaholot untuk sebutan “Perempuan” sebagai Ibu Bumi, “Ina Tanah Ekan”  dalam bahasa Lamaholot. Dalam ungkapan lain bahasa Lamaholot tentang Tanah Ekan, dikenal juga dengan “newa”, “ewa” dekat dengan sebutan ‘Eva” sebagai nama dari perempuan ciptaan pertama Tuhan dari tulang rusuk si Adam.
 Penutup
       Dengan demikian   mitos Matahari Salib Utama (Surga Positivistik) bahwa Pusat Salib dijatuhkan hingga di bawah lingkaran untuk mewakili simbol Venus sebagai keinginan lahiriah dan simbol wanita, Matahari Salib Kehidupan (Surga Empirik). Dapat dipahami makna hakikinya, bahwa   Adam dan Eva di usir dari taman firdaus karena Eva jatuh dalam mengutamakan keinginan lahiriah dengan memakan buah terlarang (“mistis pohon kehidupan”) yang dapat dipahami dalam sebutan purba pulau/kepulauan Solor sebagai “Laga Doni-Nusa Nipa”.  Pria/laki-laki (Kelake) simbol  dewa Matahari (Adon/Ado) utama/inti (Pehan/Pehin/Pe’in) simbol Adam si Matahari Salib/Langit sebagai laki-laki yang hakiki,  bersama Perempuan/Wanita (Kewae) Termurni/Terseleksi/Terkebiri (Sode) dari Ile/Gunung (Boleng) simbol Eva si Bumi/”mistis pohon kehidupan” sebagai wanita pilihan,  terpahami dalam ungkapan purba pulau Adonara sebagai “Nuha Nara Nebon”.  
      Kata Atlantis dalam telusuran Arysio Santos (hal. 130), bermula dari kata Attala (Bahasa Dravida), akar kata pertama (atta) berarti “tapak kaki, langkah kaki, antipoda”,  dan yang kedua berarti  “daratan yang tenggelam, danau di tepi laut, tanah rawa, pulau”.  Karena itu etimologi India ini dapat disamakan dengan  “daratan yang tenggelam (atau pulau atau dvipa) yang terletak di antipoda”. Etimologi sakral ini sangat penting artinya, karena menempatkan Atlantis di Antipoda, benua atau pulau hilang yang misterius, digambarkan dalam tradisi-tradisi misteri seperti tradisi para Platonis dan Pitagorean.
        Dari  kata  Adam,  mengalami perubahan  bentuk  pengucapan sesuai proses waktu menjadi Ado, Ad, Ata,  Atl, Tlan,  Atlantis, sedangkan bahasa inggris menyebut Land  berarti  Tanah. Sebutan Tanah, merupakan sebuah ungkapan yang dapat ditemukan akarnya dalam “Tlan”, yang termaktub dalam kata “Atlantik”. Dalam bukunya “Hombresy Estrcllas”, Oscar Fonck Sieveking mengurai arti kata “Atlantik” itu berdasarkan bahasa Polinesia: Atl: Air, Tlan:Tanah,  Sedangkan Ti: Dilingkupi. Dengan demikian Atlantik berarti tanah yang dilingkupi, dikelilingi oleh air (Idem Padre Yoseph Muda).
       Berlanjut kisah konflik dua bersaudara di luar taman firdaus, yakni Kain vs Abel, hanyalah sebagai replika konflik saja. Abel sebagai simbol mama/Eva, sedangkan Kain simbol bapa/Adam, di kaji Paul Arndt dalam versi  “Demon und Padzi, Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels” 1938 , “Anthropos” Band XXXlll, (1938), hal 1-58, diindonesiakan oleh Paul Sabon Nama  “Demon dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di  Kepulauan Solor”, (2002). Sedangkan Oppenheimer  menempatkan NTT (simbol Nusa Tenggara) dan Maluku, sebagai wilayah Sunda Kecil simbol Indonesia Timur  di Asia Tenggara dalam tautan mitos Ikan Penghancur dan Tombak Geografis sesungguhnya  tersingkap kisah Permusuhan Dua Bersaudara. Tercermati konflik kakak dengan adik (permusuhan dua bersaudara) seperti kisah penghancuran benua  Luondona-Wetrili oleh Ikan Raksasa sebagai titisan nenek tua, karena membela si Adik. Begitupun mitos Tombak sebagai senjata geografis, tersingkap Kulabob yang berselisih dengan Manup saudaranya di Papua Nugini Utara. Mengakibatkan Kulabob  berlayar pergi meninggalkan adik ke arah Timur, menggunakan senjata tombak sebagai pembajak lautan, sekaligus memisahkan daratan dan karang (hal.408-409 dan hal.706) http://sejarah.kompasiana.com/2011/09/17/nusa-tenggara-timur-dan-maluku-dalam-mitos-sejarah-penghayutan-benua-396163.html
      Dalam dialektika Geologi, tercermati bahwa mitos penghayutan benua melalui penghancuran oleh Ekor Ikan Raksasa  sebagai bencana vulkanik (letusan gunung berapi di dalam samudera), dan melalui  senjata geografis Tombak sebagai bencana vulkanik (letusan gunung berapi di daratan). Pemahaman ini tentu membantu upaya menyingkap  misteri benua yang hilang sebagai akibat akumulasi letusan gunung berapi baik di dalam samudra maupun di daratan mengepung wilayah Poros. Dapat tertelusuri dari aspek geologis pertemuan lempeng-lempeng benua menghimpit lempeng Benua Atlantis (saling bertubrukan:   Australia dari selatan, Amerika dari barat, dan Asia akibat tubrukan India membentuk Pegunungan Himalaya menyebabkan tubrukan lempeng Asia  Tenggara dari atas), maka terhanyutlah Benua Atlantis. Terhanyut Benua Atlantis akibat terkepung tubrukan  lempeng tiga benua (Australia dari selatan, Amerika dari Barat, Asia Tenggara dari Utara akibat tubrukan India), memaksa muncul listofer (daratan baru) yang tertebar berbagai pulau-pulau di wilayah Poros (bandingkan garis Wallace-Weber),  serta berbagai pulau yang berserakan di  zamudera Pasifik (Bandingkan Alan Woods dan Ted Grant  dalam “REASON IN REVOLT: Revolusi Berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Moderen”, 2006, hal. 332) http://sosbud.kompasiana.com/2011/09/20/dialektika-geologi-nusa-tenggara-maluku-dan-misteri-india-dalam-mitos-permusuhan-dua-bersaudara-mengenai-penghayutan-benua/
      Benua yang mistis itu sebagai bermukim para dewa  dikenal dengan  benua  Atlantis yang hilang dengan listofernya, dalam ungkapan  purba “Tadon Tanah Geto-Nuha Nara Nebon” untuk pulau Adonara sebagai simbol dari daratan baru benua yang hilang. Terungkapkan melalui pulau Lembata. dikenal sebagai “Lomblen” untuk menjelaskan pula listofer (daratan baru) dari benua yang hilang itu. Pulau Lembata bermakna bencana pulau Lepan dan pulau Batan (Bencana Keroko Puken). Benua Atlantis yang dahulu kediaman para Dewa, tenggelam/hilang , sebagai pengulangan taman firdaus yang hilang karena dosa asal dalam symbol peran se ekor  ular (nipa) dalam ungkapan  kuno  “Laga Doni-Nusa Nipa” untuk pulau Solor.
        Dalam paradigma “keaslian mistis pohon kehidupan”   seperti yang dialami bapak bangsa Israel Abraham sebagai bentuk cobaan Tuhan kepadanya ,  sehingga pengurbanan darah anaknya Ishak diganti Tuhan dengan kurban bakaran seekor anak Domba itu, ternyata mengurbankan manusia sesungguhnya benar-benar terjadi di “negri mistis”, negri simbol daratan baru (listofer) benua atlantis yang hilang itu, sampai kekinian.  Melalui perang tanding atau bentuk konflik sosial yang lain senantiasa melanggengkan paradigma “konflik sosial” demi menegakan hak (status, paradigm “stratifikasi sosial”) atas sejengkal tanah di atas daratan baru benua yang hilang itu. Maka di setiap zaman kehidupan generasi harus terulang pembunuhan manusia  untuk  memulihkan setiap jejak langkah kehidupan generasi baru di pulau itu. Keyakinan itu yang melekat di sebagaian hati orang kepulauan Solor sampai kini, yang  kurang dari seabad yang lalu (81 tahun lalu) diungkap pula oleh Paul Arndt dalam mengkaji  “Demon dan  Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di  Kepulauan Solor” ,   (hal. 104, 106 ).

     Tantangan untuk generasi ke depan, adalah bagaimana menjadikan   kedasyatan keaslian keyakinan bertradisi,  selalu dalam keteguhan iman beragama  yang selalu menjadi jiwa dari segala kecerdasan ilmu pengetahuan dan teknologi, Religio  Omnium  Sciantiarum  Anima,  ROSA!!!
 Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, 17 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar