Anakku Jeanifer Ina Tokan atau biasa di sapa Jean pagi itu terlihat gelisah.
Sepertinya ia hendak menyampaikan sesuatu yang ia lupakan kepadaku. Melihat
putriku yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas IV ini gelisah, aku berinisiatif
untuk menanyakan, kenapa denganmu nak? Rupanya ia belum punya bendera merah
putih yang terbuat dari kertas. “Beta
belum punya bendera bapa. Hari ini kami apel disekolah dan wajib membawa
bendera itu,” ujarnya terbata-bata. Aku menghampirinya sambil meyakinkan dia,
bahwa aku bisa membikinnya dalam waktu yang singkat. Semangatnya berangsur
pulih dan ia langsung bergegas menyiapkan diri seperti hari-hari biasanya sebelum
ke sekolah. Merdeka Anakku !!
Anak seusia Jean – generasi abad
21 pewaris kemerdekaan Republik Indonesia ini hanya tahu bahwa 17 Agustus
adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia – Negara yang kita cintai ini.
Mereka tahu lewat pelajaran yang diperolehnya dari sekolah, oleh ibu dan bapa
gurunya yang sederhana. Lewat kesederhanaan ini, perlahan-lahan sentimen
kenegaraan anak-anak ini mulai tumbuh dalam pengetahuan mereka yang terbatas tentang
sepak terjang perjuangan para pahlawan dan rakyat Indonesia untuk merdeka dari
tangan penjajah.
Setelah meyakinkan anakku bahwa aku
bisa membuat bendera dari kertas minyak dalam tempo sesingkat-singkatnya,
bergegas aku mencari bahan-bahan tersebut dengan mengelilingi beberapa kios
yang sudah dibuka pada pagi hari masih subuh di tanggal 17 Agustus 2013 itu.
Rupanya sulit mendapatkan kertas minyak warna merah putih tersebut karena ludes
dibeli orang lain untuk hal yang sama. Hampir putus asa dan membayangkan
kesedihan di raut wajah anakku yang sudah sangat percaya bahwa ia akan ke
sekolah mengikuti upacara bendera dengan bendera merah putih ditangan, bikinan
ayahnya. Aku terus berkeliling mencari dan kutemukan pada sebuah kios kecil
tetapi tak ada lagi warna merah. Yang ada hanya warna putih. Aku memutuskan
untuk membelinya, dan mencampurnya dengan jenis kertas warna merah lain yang
harganya sama. Aku merasa merdeka, dan bergegas meninggalkan kios itu agar
secepatnya kembali dan membikin bendera tersebut. Sekembaliku ke rumah, anakku sudah siap dengan
seragam merah putih, topi di kepala dan dasi di lehernya. Ia memandangku penuh
harap, agar secepatnya ia ke sekolah sebelum terlambat. Bergegas aku mulai
memotong, menempel dan merangkainya dengan sigap dan jadilah sebuah bendera
mini yang disematkan pada sebuah lidi yang disunat dari sapu lidi di rumahku.
Jean Anakku mulai ceria. Senyum manisnya mulai terkulum dan ia pun merasa
Merdeka. Sekejap ia kuantar ke sekolahnya. Sepanjang jalan ia memperlakukan
bendera mininya itu dengan sangat hati-hati. Ia bahkan menyarankan aku untuk
memperlambat laju sepeda motor agar benderanya tidak robek dihempas angin. Aku
mengikuti arahan itu. Namun tetap saja udara pagi itu terus nakal menghempas
bendera dari kertas tipis milik anakku. Tiba-tiba saja aku merasakan ada
sesuatu diselipkan ke bagian belakangku jarak antara aku dan anakku. Tak ada
lagi perintah, tetapi anakku berinisiatif untuk menyembunyikan bendera itu ke
bagian belakang punggungku untuk menghindari angin yang terus nakal
menginginkan bendera anakku. Aku jadi penasaran dan ingin agar hati anakku
merdeka dari kegelisahannya terhadap angin. Kucoba lebih melebarkan lagi sayap
tubuhku agar bisa menahan terpaan angin yang menantang laju sepeda motorku. Sesaat
kemudian, tidak terdengar lagi bunyi gemericik kertas akibat hempasan angin.
“sudah aman bapa,” ujar anakku dalam dialek kupang secara spontan karena ia
paham apa yang sedang diperankan ayahnya untuk mengamankan bendera
kesayangannya itu. Tibalah kami di sekolah dengan selamat disambut satpam yang
berdiri tegap anpa senyum dengan seragamnya yang kaku. Sebelum masuk ke halaman
sekolahnya, Jean anakku mencium tanganku sambil berujar, “terimakasih e bapa”. Tangannya
mengangkat bendera itu tinggi-tinggi melewati topi di kepalanya. Aku
mengangguk, memberikan jempol sambil berteriak Merdeka !!!. Setelah itu Ia pun
berlalu dan aku kembali ke rumah mempersiapkan diri untuk meliput upacara apel
17 Agustus di alun-alun rumah jabatan Gubernur NTT.
Aku melihat langsung semua yang
megah dari upacara kenegaraan di alun-alun rumah jabatan Gubernur NTT. Berbagai
elemen negara, Polisi, TNI, PNS, Guru, para purnawirawan dan masih banyak
elemen lain hadir saat upacara tersebut. Prosesi kenegaraan itu berjalan megah,
meriah dan penuh wibawa. Seluruh ornamen pengupacaraan dikemas sedemikian rupa oleh
para pegawai kacungan agar tidak mendapat sorotan dari atasannya. Semangat 17
Agustus yang kaya raya yang penuh dengan penghargaan dan hadiah. Tidak seperti
seorang anak yang merasa merdeka setelah mempunyai bendera kecil di tangannya untuk
upacara yang sama, perayaan kemerdekaan RI - 17 Agustus. Jean merasa merdeka
dan diselamatkan oleh bendera kecil tersebut, sebab bagi dia bendera itu adalah
segala-galanya, simbol kepatuhan dia terhadap ibu dan bapa guru yang berjasa
buatnya, terhadap bendera yang bermakna, terhadap sekolah dan juga terhadap
negara yang ia tinggal. Anak kecil ini tidak seperti Roy Suryo – menteri Pemuda
dan Olahraga yang berhenti menyanyi di hadapan jutaan rakyat Indonesia karena
tidak lagi menghafal lagu Indonesia Raya pada sebuah acara disalah satu stasiun
televisi beberapa waktu lalu. Peristiwa ini sangat memalukan dan Roy Suryo
meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Aku lalu berkata, “Merdeka Anakku !!
kebebasanmu pada HUT RI – 68 melampaui rasa patuh para pegawai kacungan yang
menyiapkan upacara kenegaraan di alun-alun rumah jabatan Gubernur NTT dan juga
sang menteri Roy Suryo yang terbawa rasa bersalah akibat tak lagi menghafal
syair lagu Indonesia Raya”. +++ ruddy
tokan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar