Kamis, 05 September 2013

Merdeka Anakku!!





Anakku Jeanifer Ina Tokan atau biasa di sapa Jean pagi itu terlihat gelisah. Sepertinya ia hendak menyampaikan sesuatu yang ia lupakan kepadaku. Melihat putriku yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas IV ini gelisah, aku berinisiatif untuk menanyakan, kenapa denganmu nak? Rupanya ia belum punya bendera merah putih yang terbuat dari kertas. “Beta belum punya bendera bapa. Hari ini kami apel disekolah dan wajib membawa bendera itu,” ujarnya terbata-bata. Aku menghampirinya sambil meyakinkan dia, bahwa aku bisa membikinnya dalam waktu yang singkat. Semangatnya berangsur pulih dan ia langsung bergegas menyiapkan diri seperti hari-hari biasanya sebelum ke sekolah. Merdeka Anakku !!

Anak seusia Jean – generasi abad 21 pewaris kemerdekaan Republik Indonesia ini hanya tahu bahwa 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia – Negara yang kita cintai ini. Mereka tahu lewat pelajaran yang diperolehnya dari sekolah, oleh ibu dan bapa gurunya yang sederhana. Lewat kesederhanaan ini, perlahan-lahan sentimen kenegaraan anak-anak ini mulai tumbuh dalam pengetahuan mereka yang terbatas tentang sepak terjang perjuangan para pahlawan dan rakyat Indonesia untuk merdeka dari tangan penjajah.
Setelah meyakinkan anakku bahwa aku bisa membuat bendera dari kertas minyak dalam tempo sesingkat-singkatnya, bergegas aku mencari bahan-bahan tersebut dengan mengelilingi beberapa kios yang sudah dibuka pada pagi hari masih subuh di tanggal 17 Agustus 2013 itu. Rupanya sulit mendapatkan kertas minyak warna merah putih tersebut karena ludes dibeli orang lain untuk hal yang sama. Hampir putus asa dan membayangkan kesedihan di raut wajah anakku yang sudah sangat percaya bahwa ia akan ke sekolah mengikuti upacara bendera dengan bendera merah putih ditangan, bikinan ayahnya. Aku terus berkeliling mencari dan kutemukan pada sebuah kios kecil tetapi tak ada lagi warna merah. Yang ada hanya warna putih. Aku memutuskan untuk membelinya, dan mencampurnya dengan jenis kertas warna merah lain yang harganya sama. Aku merasa merdeka, dan bergegas meninggalkan kios itu agar secepatnya kembali dan membikin bendera tersebut.  Sekembaliku ke rumah, anakku sudah siap dengan seragam merah putih, topi di kepala dan dasi di lehernya. Ia memandangku penuh harap, agar secepatnya ia ke sekolah sebelum terlambat. Bergegas aku mulai memotong, menempel dan merangkainya dengan sigap dan jadilah sebuah bendera mini yang disematkan pada sebuah lidi yang disunat dari sapu lidi di rumahku. Jean Anakku mulai ceria. Senyum manisnya mulai terkulum dan ia pun merasa Merdeka. Sekejap ia kuantar ke sekolahnya. Sepanjang jalan ia memperlakukan bendera mininya itu dengan sangat hati-hati. Ia bahkan menyarankan aku untuk memperlambat laju sepeda motor agar benderanya tidak robek dihempas angin. Aku mengikuti arahan itu. Namun tetap saja udara pagi itu terus nakal menghempas bendera dari kertas tipis milik anakku. Tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu diselipkan ke bagian belakangku jarak antara aku dan anakku. Tak ada lagi perintah, tetapi anakku berinisiatif untuk menyembunyikan bendera itu ke bagian belakang punggungku untuk menghindari angin yang terus nakal menginginkan bendera anakku. Aku jadi penasaran dan ingin agar hati anakku merdeka dari kegelisahannya terhadap angin. Kucoba lebih melebarkan lagi sayap tubuhku agar bisa menahan terpaan angin yang menantang laju sepeda motorku. Sesaat kemudian, tidak terdengar lagi bunyi gemericik kertas akibat hempasan angin. “sudah aman bapa,” ujar anakku dalam dialek kupang secara spontan karena ia paham apa yang sedang diperankan ayahnya untuk mengamankan bendera kesayangannya itu. Tibalah kami di sekolah dengan selamat disambut satpam yang berdiri tegap anpa senyum dengan seragamnya yang kaku. Sebelum masuk ke halaman sekolahnya, Jean anakku mencium tanganku sambil berujar, “terimakasih e bapa”. Tangannya mengangkat bendera itu tinggi-tinggi melewati topi di kepalanya. Aku mengangguk, memberikan jempol sambil berteriak Merdeka !!!. Setelah itu Ia pun berlalu dan aku kembali ke rumah mempersiapkan diri untuk meliput upacara apel 17 Agustus di alun-alun rumah jabatan Gubernur NTT.
Aku melihat langsung semua yang megah dari upacara kenegaraan di alun-alun rumah jabatan Gubernur NTT. Berbagai elemen negara, Polisi, TNI, PNS, Guru, para purnawirawan dan masih banyak elemen lain hadir saat upacara tersebut. Prosesi kenegaraan itu berjalan megah, meriah dan penuh wibawa. Seluruh ornamen pengupacaraan dikemas sedemikian rupa oleh para pegawai kacungan agar tidak mendapat sorotan dari atasannya. Semangat 17 Agustus yang kaya raya yang penuh dengan penghargaan dan hadiah. Tidak seperti seorang anak yang merasa merdeka setelah mempunyai bendera kecil di tangannya untuk upacara yang sama, perayaan kemerdekaan RI - 17 Agustus. Jean merasa merdeka dan diselamatkan oleh bendera kecil tersebut, sebab bagi dia bendera itu adalah segala-galanya, simbol kepatuhan dia terhadap ibu dan bapa guru yang berjasa buatnya, terhadap bendera yang bermakna, terhadap sekolah dan juga terhadap negara yang ia tinggal. Anak kecil ini tidak seperti Roy Suryo – menteri Pemuda dan Olahraga yang berhenti menyanyi di hadapan jutaan rakyat Indonesia karena tidak lagi menghafal lagu Indonesia Raya pada sebuah acara disalah satu stasiun televisi beberapa waktu lalu. Peristiwa ini sangat memalukan dan Roy Suryo meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Aku lalu berkata, “Merdeka Anakku !! kebebasanmu pada HUT RI – 68 melampaui rasa patuh para pegawai kacungan yang menyiapkan upacara kenegaraan di alun-alun rumah jabatan Gubernur NTT dan juga sang menteri Roy Suryo yang terbawa rasa bersalah akibat tak lagi menghafal syair lagu Indonesia Raya”. +++ ruddy tokan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar