Sabtu, 03 Agustus 2013

Menjadikan Prosesi Jumad Agung Sebagai Wisata Religius




 CATATAN sejarah atas peristiwa sejarah masa silam keberadaan Bunda Maria “Tuan Ma” di Pantai Kebi, Larantuka masih saja meninggalkan taoak-tapak sejarah Gereja yang tetap dilestarikan dari zaman dulu hingga kini dan masa yang akan dating –anak cucu. Berawal dari perjumpaan seorang Rasiona dengan seorang ibu cantik di bibir pantai kebi yang kemudian mencatat tiga kata di atas pasir pantai itu “Ratu Reinha Rosari” sesaat sebelum Ia berubah wujud menjadi Ratu Reinha Rosari yang menyerahkan dirinya untuk suku  Lamaholot. Peristiwa tersebut selanjutnhya oleh seorang misionaris dominikan  beberapa tahun kemudian saat Rasiona menunjukkan  tulisan itu ternyata Bunda Maria sendiri yang telah mendahului  perjalanan sang misionaris untuk menanamkan benih Iman Katolik di Bumi Lamaholot. Bunda Maria yang ditemukan Rasiona di bibir pantai Kebi kala itu secara khusus mengamini keberadaan diriNya untuk menjadi Bunda bagi semua umat bumi Ile Mandiri Tanah Lolon, Talu Suban Lagadoni. “Laranbtuka. Inilah Ibumu” demikian pesan Yesus dari Kayu Salib untuk semua umatnya dihadapan Yohanes.  sesaat sebelum ia berubah wujud menjadi “Ratu Reinha Rosari.”

Let yourselves be guided in this more intense listening to God by the Virgin Mary, a teacher and model of prayer. Semoga Bunda Maria  yang telah  memberikan contoh dan menjadi teladan doa –menjadi pembimbing Anda untuk mendengarkan Sabda Allah lebih mendalam lagi.
“Our different religious traditions have a powerful potential to promote a culture of peace, especially trough teaching and preaching the deeper spiritual values of common humanity (Paus Benedikktus PP XVI). Perbedaan tradisi-tradisi keagamaan kita memiliki satu kekuatan potensial untuk mempromosikan suatu budaya damai, khususnya melalui pengajaran dan pewartaan nilai-nilai spiritual yang lebih mendalam daripada kebiasaan manusiawi kita.”
Kukisahkan kepada langit bahwa Allah Lere Wulan Tanah Ekan kini berdiam dalam manusia yang hidup. Di atas wadas kehidupan ini, ingin kuukir nama Tuhan, biar pedih perih menyengat jiwaku. Kusadari bahwa hidup adalah anugerah dan berkat Allah, maka aku harus  menjulang Cinta Kasih untuk meneggakkan keadilan dan kebenaran di pelataranNya sampai langit tampak membiru saat cakrawala membentang.
Setelah sekian lama kita semua tercerai berai  meninggalkan Kota Reinha Larantuka sejak banjir Lumpur dan hujan lebat pada malam Rabu, 27 Pebruari 1979 menjadi malam kelabu yang sangat memilukan bercampur duka, rasa sedih yang mendalam karena orang-orang terkasih, handai taulan dan semua keluarga  lari keluar dari rumah masing-masing untuk menyelamatkan diri. Ini suatu targedi yang menjadi “salib bukan bencana tsunami, karena banjir yang bercampur dengan batu-batu besar, kayu dan material meleleh dari anak bukit Gunung Ile Mandiri menerjang rumah-rumah rakyat --- melawati desa-desa perkampungan warga yang tinggal  menyekitari  kaki Gunung Ile Mandiri.
Malam pekat yang tak berbintang itu  terdengar  suara longlongan anjing memecah keheningan  malam yang meratapi meninggalnya anak-anak lewotana. Banyak warga yang terkubur hidup-hidup dibawah banjir lumpur (baca: bagaikan lahar dingin), mereka tak sanggup  melawan banjir lumpur untuk mempertahankan hidup, tetapi secara pasrah harus  menerima nasib untuk mati. Mereka harus terkubur hidup-hidup dibawah lumpur dan bebatuan serta bahan material rumah-rumah mereka yang roboh akibat kekuatan  dahsyat bencana alam banjir lumpur tersebut.
Kota Reinha Rosari Larantuka pada masa itu hanya tinggal puing-puing yang berantakan, menggores kesedihan yang mendalam bagi sanak keluarga mereka yang hilang terkubur hidup-hidup dan  sekarang hanya tinggal menjadi catatan tragedi sejarah kelabu bagi Nagi Tana yang tak terlupakan bagi anak cucu mereka. Itulah sekilas kisah tragedi kelabu bagi umat  Kota Reinha Rosari Larantuka 32 tahun silam.
Dari catatan sejarah  Gereja, ada beberapa  peristiwa penting yang turut membingkai sejarah iman di bumi Ile Mandiri --- tanah Lamaholot tercinta menyimpan misteri dan keunikan yang menjadi devosi khusus umat/rakyat kepada Bunda Maria Reinha Rosasri Larantuka. Tahun 1665, Raja Don Fransisco Ola Adobala DVG yang didampingi Mgr. Hendrique menyerahkan tongkat  kerajaan  kepada Bunda Maria Reinha Rosari Larantuyka sebagai tonggak sejarah perintis iman di Larantuka.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, ketika Gereja mengalami masa suram yang ditandai dengan adanya kevakuman misionaris selama 100 tahun (1754-1853), maka diadakanlah sebuah upaya penyegaran iman umat. Dalam masa sulit seperti itu,  pada tahun 1887,  Raja Don Lorenzo II DVG (Raja Usi Neno), didukung oleh Mgr. Classens (Uskup Jakarta) telah melakukan penyerahan ulang tongkat kerajaan kepada Bunda Maria Reinha Rosari Larantuka. Kala itu, kekuatan magis religius dipadukan menjadi satu kekuatan dashyat yang mengandung nilai holistik-sakralistik.
Pada tahun 1951 berdiri untuk pertama kalinya Keuskupan Larantuka dan pada tahun 1952, Raja Don Lorenzo III DVG (Raja Nua) disaksikan oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD melakukan ulang peringatan penyerahan tongkat Kerajaan kepada Bunda Maria Reinha Rosari untuk ketiga kalinya. Dan selanjutnya, pada tahun 1954 telah dilakukan penyerahan Keuskupan Larantuka kepada Hati Bunda Maria Tak Bernoda oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD yang mengemban motto tahbisan uskupnya “ Maria Protegente.” Sejarah itu kini kembali terulang. Moment peringatan Lima Abad sangat penting dan strategis untuk diperingati sebagai  momen “pembaruan iman.” Pada momen emas tersebut, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr melakukan ikrar penyerahan ulang tongkat Kerajaan kepada Bunda Maria Reinha Rosari untuk keempat kalinya oleh Dona Martina Kanena da Silva – Diaz Viera de Godinho (DVG). Sejarah baru ini terukir yang ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Mgr. Fransiskus Kopong Kung.,Pr dan Dona Martina Ximenes da Silva DVG. Upacara penandatanganan oleh mami Dona Martina dan pendamping dijemput dengan tarian menuju tempat pentakhtaan prasasti dan selanjutnya  bersama Yang Mulia Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr menandatangani prasasti lima abad Tuan Ma.
Perjalanan panjang mengelilingi Kota Reinha Rosari Larantuka adalah suatu upaya pendalaman iman atas  misteri Paskah kita dikuburkan bersama Kristus, supaya bersama Dia kita menghayati hidup yang baru. Dalam pembaptisan, manusia lama kita, yakni cara berpikir lama, cara bekerja yang lama, singkatnya, sikap-sikap yang lama yang kurang baik telah disalibkan bersama Kristus, supaya selanjutnya kita mati terhadap dosa, dan bangkit untuk hidup yang semata-mata  bagi Allah dalam Gereja.
Peringatan Lima Abad lamanya Bunda Maria, Tuan Ma  hadir dan tinggal di hati kita. Momen prosesi Jumad Agung adalah moment berahmat  bagi kita semua untuk membarui seluruh hidup, karya, dan penghayatan iman kita dengan membarui janji baptis kita masing-masing.
Kita berdiri dengan lilin bernyala ditangan untuk membarui janji baptis kita untuk terus berjuang melawan segala tindakan dan kebiasaan yang tidak adil atau tidak jujur dan yang melanggar hak-hak asasi manusia. Secara khusus kita semua diuji untuk menyadari dan menghayati kembali tema umum perayaan syukur Lima Abad Tuan Ma : “ SUPAYA SEMUA MENJADI SATU DI BAWAH PERLINDUNGAN MARIA UNTUK MENGABDI KEBENARAN DALAM CINTA KASIH.    
Semana Santa (Pekan Suci), April 2011, telah diisi dengan berbagai kegiatan religius untuk menyemarakan pecan suci, baik yang dilakukan oleh para pemuda Katolik dengan  menggelar drama Jalan Salib Hidup di Stadion ILe Mandiri,Larantuka, begitu pun juga denga deo (para hamba Tuhan), baik yang ada di masing-masing  kapela, Kapela Tuan Ma, Kapela Tuan Ana dan Kapela Tuan Menino bersembah sujud mendoakan bagi proses penyelamatan dunia. Ingatlah akan penegasan Santo Yohanes : “Inilah kemenangan yang mengalahkan dunia, yakni iman kita.”

Angka Merdomu Serewi Tuan Deo
Tahun 2011 silam, keluarga besar Drs. Frans Lebu Raya – Gubernur Nusa Tenggara Timur mendapatkan  kepercayaan untuk menjadi mardomu di Armida Tuan Menino. Armida ini terletak di batas keluruhan Pohon Sirih dan Kelurahan Balela, dibawsah tanggungjawab dan pengaturan umat Lingkungan Kota Rowido-Paroki St. Yohanes Pembaptis Lebao Tengah. Menariknya, setelah armada dikerjakan, umat lingkungan Kota Rowido bersama para peziarah akan mengantar Patung Yesus disalibkan melalui jalan laut (prosesi bahari) untuk ditahtakan  dalam armada ini, kemudian pada hari Sabtu Santo dengan melewati route yang sama patung tersebut diantar kembali ke Kota Rowido.
Kendati Kota Rowido termasuk dalam wilayah Paroki San Juan, Lebao Tengah, namun kehadirannya dalam prosesi Jumad Agung di Larantuka tentu punya alasan yang masih perlu dicermati  latar historisnya. Sementara penempatan Armida Tuan Meninu sebagai armida kedua, dewsasa ini dimaknai sebagai pemenuhan janji Allah bagi umat manusia dengan lahirnya Yesus di Kandang Betlehem, Tuan Menino, Kanak-kanan Yesus.
Sepanjang jalan prosesi Jumad Agung di Larantuka, kita akan menjumpai 8 (delapan) tempat perhentian yangh disebut Armida. Di tempat ini berlangsung sejumlah acara : Pentakhtaan Salib, Pembacaan Injil, doa tanggapan/renungan singkat, nyanyian Ovos dan Signor Deo, pemberkatan, nyanyian Eus.  Selama berlangsungnya acara-acara tertsebut semua umat sepanjang jalan prosesi mengarahkan perhatiannya ke armada. Dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh petugas, untuk sementara jalan prosesi dihentikan, doa-doa dan nyanyian kelompok ditangguhkan. Cuma  soal, apakah  umat yang berada jauh dari armada dapat mengikuti semua acara itu dengan baik? Akankah mereka juga sempat mendengarkan nyanyian-nyanyian, bacaaan Injil dan renungan ?
Kedalapan armido itu berturut-turut : Armida Misericordiae, Armida Tuan Menino, Armida Tuan Trewa, Artmida Mater Dolorosa, Armida Benteng Daud, Armida Kuce, dan Armida Tuan Ana. Menariknya, bahwa setiap armada mempunyai sejarah dan tradisi  yang unik dan memiliki nilai sakral. Dalam rangka  pemurnian tradisi itulah, maka kegiatan di setiap armada hendak dimaknai sesuai konteks sejarah keselamatan dengan menegaskan tema tertentu dan menampilkan nteks Kitab Suci dan renungan sesuai dengan tema.
Akan halnya armada itu, dapatlah dikatakan sebagai sebuah kemah yang dibangun khusus untuk pentakhtaan Salib dan barang-barang kudus lainnya. Orang-orang sekampung secara gotong-royong membuatnya, selain mereka juga secara bersama-sama tikan turo dibawah tanggungan Tuan Merdomu. Di dalam  kemah itu nantinya, ada sejumlah ibu dengan mengenakan pakaian serba hitam akan tuguran (dudo jaga Tuan), lantaran dalam armada itu ditahtakan pula patung-patung kudus yang dibawa dari Tori atau Kapela  dengan suatu perarakan khusus.

Angkat Mardomu
Merdomu berasal dari kata  Mayor yang berarti besar dan Domus  berarti umat. Domus juga berarti rumah Allah atau Gereja. Padananan kedua kaa itu mayordomus lantas dimaknai sebagai  tuan rumah. Penyesuaian kata itu dengan ucapan setempat (masyarakat Larantuka) jadilah kata Mardomu. Kata Mardomu mengalami pergeseran makna dari waktu ke waktu. Pada zaman dulu, orang yang bertugas menjaga Kapela disebut Merdomu. Biasanya tugas ini dijalankan oleh orang tertentu dari suku tertentu pula. Karena itu tidaksembarang orang menjalankan tugas sebagai mardomu yang kemudian orang yang menjaga Kapela disebut Denga Deo.
Dalam perkembangan selanjutnya, orang yang bertugas mempersiapkan, mengatur dan melaksanakan hal-hal-hal yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan prosesi (prosisan) lantas disebut Mardomu. Uan Mardomu, demikian  sebutan untuk mereka yang melaksanakan tugas tersebut untuk menyiapkan turo (tiang kayu), kaso (belahan bambu) dan perlengkapan  lainnya seperti tali dari daun gewang untuk pembuatan “pagar lilin”  dari kiri dan kanan jalan prosesi. Mereka juga menyumbangkan bahan-bahan  untuk pengerjaan armada, bahan-bahan yang dibutuhkan di Kapela Tuan Mardomu juga yang menyiapkan konsumsi bagi warga kampong yang ‘’paku turo’’ (mengerjakan pagar lilin) menyiapkan konsumsi bagi umat yang dating ke Kapela untuk kegiatan-kegiatan tradisi.
Untuk dapat melaksanakan tugas mardomu, orang harus Angka Mardomu pada saat Serah Punto Dama. Waktu itu Mardomu Lama (mereka yang sudah bertugas tahun itu) lewat tetua adapt dan disaksikan oleh semua warga kampong, menyerahkan punto dama (lilin) kepada Mardomu Baru (mereka yang akan bertugas tahun berikutnya). Upacara ini diwarnai dengan seremoni adapt : Suguhan arak dan Sirih Pinang dengan dilengkapi pangan local dan sayur rumpu-rampe dan tambo (lauk-pauk) dalam acara evaluasi dan saran perbaikan untuk pelaksanaan kegiatan tahun berikutnya.

Menurut Pater Luis Diaz, SVD, Imam pertama asal Paroki San Juan, Lebao Tengah mengatakan bahwa Mardomu merupakan suatu kegiatan untuk melayani Tuhan. Orang yang Angka Meardomu harus memiliki semangat pelayanan, dia harus bertindak sebagai pelayan. Dalam kesempatan pembinaan bagi Mardomu di Paroki San Juan—Lebao Tengah, tanggal 22 Juni 1999, Pater Luis menekankan, bahwa kegiatan mardomu tidak boleh dipisahkan  dari kegiatan paroki. Untuk itu tugas mardomu harus disikapi secara lebih luas, tugas  yang berkaitan dengan semua hal yang menyangkut kehidupan iman Gereja di lingkungan/Stasi. Semangat mardomu  tidak berhenti pada waktu serah Punto Dama. Memang dalam hal-hal menyangkut kegiatan  tradisi-devosional tugas mardomu sudah diganti  oleh yang baru. Namun semangat hidup untuk melayani Tuhan yang dipupuk selama satu tahun bertugas haruslah menjadi bagian hidup yang utuh. “Angka mardomu bagi setiap setiap orang Katolik harsulah mempersikapkan diri secara khusus untuk menegaskan panggilan pelayanan yang merupakan panggilan hidup Kristiani. Para mardomu   bahwsa lilin-lilin  yang digunakan untuk promesa harus dilihat sebagai lambing, dimana kita hendak menegaskan panggilan untuk senantiasa menjadi terang dan garam dunia bagi sesame yang lain,” pater Luis mengingatkan.

“Dalam perbedaan ada kebersamaan untuk membangun lewotana, khususnya Kabupaten Flores Timur. Nuansa ini terus kita kita jaga sebagai  wujud kebhinekaan  untuk mengawali pelaksanaan Pemilu Kada Damai di Kabupaten Flores Timur. Dalam menghadapi Pemilu Kada di Kabupaten Flores Timur, mari kita merajut sebuah rasa kebersamaan, karena kebersamaan itu sangat mahal harganya, apalagi merajut rasa kebersamaan dalam perbedaan yang mampu mempersatukan kita semua serta akan menjadi kekuatan yang dashyat untuk membangun Kota Reinha Rorasi Larantuka khususnya dan Kabupaten Flores Timur umumnya, karena bagaimanapun juga  haruslah kita sadari bahwa membangun Flores Timur harus dikemas dalam bahasa Tite Tou, kebersamaan harus diwujudnyatakan dalam sikap hidup, perilaku dan karya nyata dalam  keseharian diantara sesama kita.

Perayaan Lima Abad Tuan Ma dan prosesi Jumad Agung tahun 2011  sudah berjalan  sukses  yang merupakan peritiwa batin –trasendental dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. “Mari kita jaga kota suci Reinha Rorasi Larantuka dan jangan kita permalukan diri sendiri dengan tindakan atau perbuatan yang tidak terpuji. Rasa kebersamaan bukan sebuah ungkapan hati yang tidak hanya sekedar konseptual semata, tetapi adalah suatui realitas kehidupan kehiupan yang menggambarkan bahwa Lamaholot adalah satu dan bersaudara.

Don Martinus, DVG secara khusus mengingatkan bahwa dalam menghadapi tantangan zaman, upaya untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai religiusitas yang telah menjadi tradisi turun temurun haruslah menjadi kekuatan perekat dalam tatanan kehidupan keberagaam yang abadi. Saya ingin menegaskan kembali apa yang disampaikan oleh Uskup Kherubin dalam kotbahnya pada perayaan Ekaristi Kudus mengenang Lima Abad Tuan Ma yang menekankan bahwa momentum penting tatkala  kita saksikan atau bahkan sendiri mengalami keterpecahan yang mudah  merekah ditengah kehidupan umat manusia oleh berbagai alasan, seperti perpecahan yang dipicu konflik dan keyakinan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bergereja dan bernegara. Kita diajak untuk bersama dan semakin menyatu-utuhkan diri kita satu sama lain dibawah naungan  kasih Bunda Maria yang sama yang telah berada di tempat ini kurang lebih lima abad. Maria yang kita hormati adalah satu dan sama.  Itu pula menjadikan kita satu dibaweah perlindunganNya. “Peristiwa religius berupa Prosesi Jumad Agung hendaklah kita melihat sebagai kesempatan untuk mengarahkan hidup kepada hal-hal yang benar dan mewujudkan nya dalam semangat ciknta kasih, kerukunan dan perdamaian sebagai upaya sadar yang sistematis untuk membangun Kota Reinha Rosari Larantuka sebagai pusat kegiatan ziarah cikntga kasih, kerukunan dalam bersamaan yang dapat menjadi daya tarik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata religius masa depan. (jp/rt/dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar