CATATAN sejarah
atas peristiwa sejarah masa silam keberadaan Bunda Maria “Tuan Ma” di Pantai
Kebi, Larantuka masih saja meninggalkan taoak-tapak sejarah Gereja yang tetap
dilestarikan dari zaman dulu hingga kini dan masa yang akan dating –anak cucu.
Berawal dari perjumpaan seorang Rasiona dengan seorang ibu cantik di bibir
pantai kebi yang kemudian mencatat tiga kata di atas pasir pantai itu “Ratu
Reinha Rosari” sesaat sebelum Ia berubah wujud menjadi Ratu Reinha Rosari yang
menyerahkan dirinya untuk suku
Lamaholot. Peristiwa tersebut selanjutnhya oleh seorang misionaris
dominikan beberapa tahun kemudian saat
Rasiona menunjukkan tulisan itu ternyata
Bunda Maria sendiri yang telah mendahului
perjalanan sang misionaris untuk menanamkan benih Iman Katolik di Bumi
Lamaholot. Bunda Maria yang ditemukan Rasiona di bibir pantai Kebi kala itu
secara khusus mengamini keberadaan diriNya untuk menjadi Bunda bagi semua umat bumi Ile Mandiri Tanah Lolon, Talu Suban
Lagadoni. “Laranbtuka. Inilah Ibumu” demikian pesan Yesus dari Kayu Salib untuk
semua umatnya dihadapan Yohanes. sesaat
sebelum ia berubah wujud menjadi “Ratu Reinha Rosari.”
Let yourselves be guided in this more intense
listening to God by the Virgin Mary, a teacher and model of prayer. Semoga Bunda Maria yang
telah memberikan contoh dan menjadi
teladan doa –menjadi pembimbing Anda untuk mendengarkan Sabda Allah lebih
mendalam lagi.
“Our different religious traditions have a powerful
potential to promote a culture of peace, especially trough teaching and
preaching the deeper spiritual values of common humanity (Paus Benedikktus PP
XVI). Perbedaan tradisi-tradisi keagamaan kita
memiliki satu kekuatan potensial untuk mempromosikan suatu budaya damai,
khususnya melalui pengajaran dan pewartaan nilai-nilai spiritual yang lebih
mendalam daripada kebiasaan manusiawi kita.”
Kukisahkan kepada
langit bahwa Allah Lere Wulan Tanah Ekan
kini berdiam dalam manusia yang hidup. Di atas wadas kehidupan ini, ingin
kuukir nama Tuhan, biar pedih perih menyengat jiwaku. Kusadari bahwa hidup
adalah anugerah dan berkat Allah, maka aku harus menjulang Cinta Kasih untuk meneggakkan
keadilan dan kebenaran di pelataranNya sampai langit tampak membiru saat
cakrawala membentang.
Setelah sekian
lama kita semua tercerai berai meninggalkan
Kota Reinha Larantuka sejak banjir Lumpur dan hujan lebat pada malam Rabu, 27
Pebruari 1979 menjadi malam kelabu yang sangat memilukan bercampur duka, rasa
sedih yang mendalam karena orang-orang terkasih, handai taulan dan semua
keluarga lari keluar dari rumah
masing-masing untuk menyelamatkan diri. Ini suatu targedi yang menjadi “salib bukan
bencana tsunami, karena banjir yang bercampur dengan batu-batu besar, kayu dan
material meleleh dari anak bukit Gunung Ile Mandiri menerjang rumah-rumah
rakyat --- melawati desa-desa perkampungan warga yang tinggal menyekitari kaki Gunung Ile Mandiri.
Malam pekat yang
tak berbintang itu terdengar suara longlongan anjing memecah keheningan malam yang meratapi meninggalnya anak-anak
lewotana. Banyak warga yang terkubur hidup-hidup dibawah banjir lumpur (baca: bagaikan
lahar dingin), mereka tak sanggup melawan
banjir lumpur untuk mempertahankan hidup, tetapi secara pasrah harus menerima nasib untuk mati. Mereka harus
terkubur hidup-hidup dibawah lumpur dan bebatuan serta bahan material rumah-rumah
mereka yang roboh akibat kekuatan
dahsyat bencana alam banjir lumpur tersebut.
Kota Reinha
Rosari Larantuka pada masa itu hanya tinggal puing-puing yang berantakan,
menggores kesedihan yang mendalam bagi sanak keluarga mereka yang hilang
terkubur hidup-hidup dan sekarang hanya
tinggal menjadi catatan tragedi sejarah kelabu bagi Nagi Tana yang tak terlupakan
bagi anak cucu mereka. Itulah sekilas kisah tragedi kelabu bagi umat Kota Reinha Rosari Larantuka 32 tahun silam.
Dari catatan
sejarah Gereja, ada beberapa peristiwa penting yang turut membingkai
sejarah iman di bumi Ile Mandiri --- tanah Lamaholot tercinta menyimpan misteri
dan keunikan yang menjadi devosi khusus umat/rakyat kepada Bunda Maria Reinha
Rosasri Larantuka. Tahun 1665, Raja Don Fransisco Ola Adobala DVG yang
didampingi Mgr. Hendrique menyerahkan tongkat
kerajaan kepada Bunda Maria Reinha
Rosari Larantuyka sebagai tonggak sejarah perintis iman di Larantuka.
Dalam
perkembangan sejarah selanjutnya, ketika Gereja mengalami masa suram yang
ditandai dengan adanya kevakuman misionaris selama 100 tahun (1754-1853), maka
diadakanlah sebuah upaya penyegaran iman umat. Dalam masa sulit seperti
itu, pada tahun 1887, Raja Don Lorenzo II DVG (Raja Usi Neno),
didukung oleh Mgr. Classens (Uskup Jakarta) telah melakukan penyerahan ulang
tongkat kerajaan kepada Bunda Maria Reinha Rosari Larantuka. Kala itu, kekuatan
magis religius dipadukan menjadi satu kekuatan dashyat yang mengandung nilai
holistik-sakralistik.
Pada tahun 1951
berdiri untuk pertama kalinya Keuskupan Larantuka dan pada tahun 1952, Raja Don
Lorenzo III DVG (Raja Nua) disaksikan oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD melakukan
ulang peringatan penyerahan tongkat Kerajaan kepada Bunda Maria Reinha Rosari untuk
ketiga kalinya. Dan selanjutnya, pada tahun 1954 telah dilakukan penyerahan
Keuskupan Larantuka kepada Hati Bunda Maria Tak Bernoda oleh Mgr. Gabriel
Manek, SVD yang mengemban motto tahbisan uskupnya “ Maria Protegente.” Sejarah
itu kini kembali terulang. Moment peringatan Lima Abad sangat penting dan
strategis untuk diperingati sebagai
momen “pembaruan iman.” Pada momen emas tersebut, Mgr. Fransiskus Kopong
Kung, Pr melakukan ikrar penyerahan ulang tongkat Kerajaan kepada Bunda Maria
Reinha Rosari untuk keempat kalinya oleh Dona Martina Kanena da Silva – Diaz
Viera de Godinho (DVG). Sejarah baru ini terukir yang ditandai dengan
penandatanganan prasasti oleh Mgr. Fransiskus Kopong Kung.,Pr dan Dona Martina
Ximenes da Silva DVG. Upacara penandatanganan oleh mami Dona Martina dan
pendamping dijemput dengan tarian menuju tempat pentakhtaan prasasti dan
selanjutnya bersama Yang Mulia Mgr.
Fransiskus Kopong Kung, Pr menandatangani prasasti lima abad Tuan Ma.
Perjalanan
panjang mengelilingi Kota Reinha Rosari Larantuka adalah suatu upaya pendalaman
iman atas misteri Paskah kita dikuburkan
bersama Kristus, supaya bersama Dia kita menghayati hidup yang baru. Dalam
pembaptisan, manusia lama kita, yakni cara berpikir lama, cara bekerja yang
lama, singkatnya, sikap-sikap yang lama yang kurang baik telah disalibkan bersama Kristus, supaya
selanjutnya kita mati terhadap dosa, dan bangkit untuk hidup yang
semata-mata bagi Allah dalam Gereja.
Peringatan Lima
Abad lamanya Bunda Maria, Tuan Ma hadir
dan tinggal di hati kita. Momen prosesi Jumad Agung adalah moment berahmat bagi kita semua untuk membarui seluruh hidup,
karya, dan penghayatan iman kita dengan membarui janji baptis kita
masing-masing.
Kita berdiri
dengan lilin bernyala ditangan untuk membarui janji baptis kita untuk terus
berjuang melawan segala tindakan dan kebiasaan yang tidak adil atau tidak jujur
dan yang melanggar hak-hak asasi manusia. Secara khusus kita semua diuji untuk
menyadari dan menghayati kembali tema umum perayaan syukur Lima Abad Tuan Ma :
“ SUPAYA SEMUA MENJADI SATU DI BAWAH PERLINDUNGAN MARIA UNTUK MENGABDI KEBENARAN
DALAM CINTA KASIH.
Semana Santa
(Pekan Suci), April 2011, telah diisi dengan berbagai kegiatan religius untuk
menyemarakan pecan suci, baik yang dilakukan oleh para pemuda Katolik
dengan menggelar drama Jalan Salib Hidup
di Stadion ILe Mandiri,Larantuka, begitu pun juga denga deo (para hamba Tuhan),
baik yang ada di masing-masing kapela,
Kapela Tuan Ma, Kapela Tuan Ana dan Kapela Tuan Menino bersembah sujud
mendoakan bagi proses penyelamatan dunia. Ingatlah akan penegasan Santo Yohanes
: “Inilah kemenangan yang mengalahkan dunia,
yakni iman kita.”
Angka Merdomu Serewi Tuan Deo
Tahun 2011
silam, keluarga besar Drs. Frans Lebu Raya –
Gubernur Nusa Tenggara Timur mendapatkan kepercayaan untuk menjadi mardomu di Armida
Tuan Menino. Armida ini terletak di batas keluruhan Pohon Sirih dan Kelurahan
Balela, dibawsah tanggungjawab dan pengaturan umat Lingkungan Kota
Rowido-Paroki St. Yohanes Pembaptis Lebao Tengah. Menariknya, setelah armada
dikerjakan, umat lingkungan Kota Rowido bersama para peziarah akan mengantar
Patung Yesus disalibkan melalui jalan laut (prosesi bahari) untuk
ditahtakan dalam armada ini, kemudian
pada hari Sabtu Santo dengan melewati route yang sama patung tersebut diantar
kembali ke Kota Rowido.
Kendati Kota
Rowido termasuk dalam wilayah Paroki San Juan, Lebao Tengah, namun kehadirannya
dalam prosesi Jumad Agung di Larantuka tentu punya alasan yang masih perlu
dicermati latar historisnya. Sementara
penempatan Armida Tuan Meninu sebagai armida kedua, dewsasa ini dimaknai
sebagai pemenuhan janji Allah bagi umat manusia dengan lahirnya Yesus di
Kandang Betlehem, Tuan Menino, Kanak-kanan Yesus.
Sepanjang jalan
prosesi Jumad Agung di Larantuka, kita akan menjumpai 8 (delapan) tempat
perhentian yangh disebut Armida. Di tempat ini berlangsung sejumlah acara :
Pentakhtaan Salib, Pembacaan Injil, doa tanggapan/renungan singkat, nyanyian
Ovos dan Signor Deo, pemberkatan, nyanyian Eus. Selama berlangsungnya acara-acara tertsebut
semua umat sepanjang jalan prosesi mengarahkan perhatiannya ke armada. Dengan
isyarat-isyarat yang diberikan oleh petugas, untuk sementara jalan prosesi
dihentikan, doa-doa dan nyanyian kelompok ditangguhkan. Cuma soal, apakah
umat yang berada jauh dari armada dapat mengikuti semua acara itu dengan
baik? Akankah mereka juga sempat mendengarkan nyanyian-nyanyian, bacaaan Injil
dan renungan ?
Kedalapan armido
itu berturut-turut : Armida Misericordiae, Armida Tuan Menino, Armida Tuan
Trewa, Artmida Mater Dolorosa, Armida Benteng Daud, Armida Kuce, dan Armida
Tuan Ana. Menariknya, bahwa setiap armada mempunyai sejarah dan tradisi yang unik dan memiliki nilai sakral. Dalam
rangka pemurnian tradisi itulah, maka
kegiatan di setiap armada hendak dimaknai sesuai konteks sejarah keselamatan
dengan menegaskan tema tertentu dan menampilkan nteks Kitab Suci dan renungan
sesuai dengan tema.
Akan halnya
armada itu, dapatlah dikatakan sebagai sebuah kemah yang dibangun khusus untuk
pentakhtaan Salib dan barang-barang kudus lainnya. Orang-orang sekampung secara
gotong-royong membuatnya, selain mereka juga secara bersama-sama tikan turo
dibawah tanggungan Tuan Merdomu. Di dalam
kemah itu nantinya, ada sejumlah ibu dengan mengenakan pakaian serba
hitam akan tuguran (dudo jaga Tuan), lantaran dalam armada itu ditahtakan pula
patung-patung kudus yang dibawa dari Tori atau Kapela dengan suatu perarakan khusus.
Angkat Mardomu
Merdomu berasal
dari kata Mayor yang berarti besar dan
Domus berarti umat. Domus juga berarti
rumah Allah atau Gereja. Padananan kedua kaa itu mayordomus lantas dimaknai
sebagai tuan rumah. Penyesuaian kata itu
dengan ucapan setempat (masyarakat Larantuka) jadilah kata Mardomu. Kata
Mardomu mengalami pergeseran makna dari waktu ke waktu. Pada zaman dulu, orang
yang bertugas menjaga Kapela disebut Merdomu. Biasanya tugas ini dijalankan
oleh orang tertentu dari suku tertentu pula. Karena itu tidaksembarang orang
menjalankan tugas sebagai mardomu yang kemudian orang yang menjaga Kapela
disebut Denga Deo.
Dalam
perkembangan selanjutnya, orang yang bertugas mempersiapkan, mengatur dan
melaksanakan hal-hal-hal yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan prosesi
(prosisan) lantas disebut Mardomu. Uan Mardomu, demikian sebutan untuk mereka yang melaksanakan tugas
tersebut untuk menyiapkan turo (tiang kayu), kaso (belahan bambu) dan
perlengkapan lainnya seperti tali dari
daun gewang untuk pembuatan “pagar lilin”
dari kiri dan kanan jalan prosesi. Mereka juga menyumbangkan
bahan-bahan untuk pengerjaan armada,
bahan-bahan yang dibutuhkan di Kapela Tuan Mardomu juga yang menyiapkan
konsumsi bagi warga kampong yang ‘’paku turo’’ (mengerjakan pagar lilin)
menyiapkan konsumsi bagi umat yang dating ke Kapela untuk kegiatan-kegiatan
tradisi.
Untuk dapat
melaksanakan tugas mardomu, orang harus Angka Mardomu pada saat Serah Punto
Dama. Waktu itu Mardomu Lama (mereka yang sudah bertugas tahun itu) lewat tetua
adapt dan disaksikan oleh semua warga kampong, menyerahkan punto dama (lilin)
kepada Mardomu Baru (mereka yang akan bertugas tahun berikutnya). Upacara ini
diwarnai dengan seremoni adapt : Suguhan arak dan Sirih Pinang dengan
dilengkapi pangan local dan sayur rumpu-rampe dan tambo (lauk-pauk) dalam acara
evaluasi dan saran perbaikan untuk pelaksanaan kegiatan tahun berikutnya.
Menurut Pater
Luis Diaz, SVD, Imam pertama asal Paroki San Juan, Lebao Tengah mengatakan
bahwa Mardomu merupakan suatu kegiatan untuk melayani Tuhan. Orang yang Angka
Meardomu harus memiliki semangat pelayanan, dia harus bertindak sebagai
pelayan. Dalam kesempatan pembinaan bagi Mardomu di Paroki San Juan—Lebao Tengah, tanggal 22 Juni 1999,
Pater Luis menekankan, bahwa kegiatan mardomu tidak boleh dipisahkan dari kegiatan paroki. Untuk itu tugas mardomu
harus disikapi secara lebih luas, tugas yang berkaitan dengan semua hal yang
menyangkut kehidupan iman Gereja di lingkungan/Stasi. Semangat mardomu tidak berhenti pada waktu serah Punto Dama.
Memang dalam hal-hal menyangkut kegiatan
tradisi-devosional tugas mardomu sudah diganti oleh yang baru. Namun semangat hidup untuk
melayani Tuhan yang dipupuk selama satu tahun bertugas haruslah menjadi bagian
hidup yang utuh. “Angka mardomu bagi setiap setiap orang Katolik harsulah
mempersikapkan diri secara khusus untuk menegaskan panggilan pelayanan yang
merupakan panggilan hidup Kristiani. Para
mardomu bahwsa lilin-lilin yang digunakan untuk promesa harus dilihat
sebagai lambing, dimana kita hendak menegaskan panggilan untuk senantiasa
menjadi terang dan garam dunia bagi sesame yang lain,” pater Luis mengingatkan.
“Dalam
perbedaan ada kebersamaan untuk membangun lewotana, khususnya Kabupaten Flores
Timur. Nuansa ini terus kita kita jaga sebagai
wujud kebhinekaan untuk mengawali
pelaksanaan Pemilu Kada Damai di Kabupaten Flores
Timur. Dalam menghadapi Pemilu Kada di Kabupaten Flores Timur, mari kita
merajut sebuah rasa kebersamaan, karena kebersamaan itu sangat mahal harganya,
apalagi merajut rasa kebersamaan dalam perbedaan yang mampu mempersatukan kita
semua serta akan menjadi kekuatan yang dashyat untuk membangun Kota Reinha
Rorasi Larantuka khususnya dan Kabupaten Flores Timur umumnya, karena
bagaimanapun juga haruslah kita sadari
bahwa membangun Flores Timur harus dikemas dalam bahasa Tite Tou, kebersamaan
harus diwujudnyatakan dalam sikap hidup, perilaku dan karya nyata dalam keseharian diantara sesama kita.
Perayaan Lima
Abad Tuan Ma dan prosesi Jumad Agung tahun 2011
sudah berjalan sukses yang merupakan peritiwa batin –trasendental
dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. “Mari kita jaga kota suci Reinha Rorasi Larantuka dan jangan
kita permalukan diri sendiri dengan tindakan atau perbuatan yang tidak terpuji.
Rasa kebersamaan bukan sebuah ungkapan hati yang tidak hanya sekedar konseptual
semata, tetapi adalah suatui realitas kehidupan kehiupan yang menggambarkan
bahwa Lamaholot adalah satu dan bersaudara.
Don Martinus,
DVG secara khusus mengingatkan bahwa dalam menghadapi tantangan zaman, upaya
untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai religiusitas yang telah menjadi
tradisi turun temurun haruslah menjadi kekuatan perekat dalam tatanan kehidupan
keberagaam yang abadi. Saya ingin menegaskan kembali apa yang disampaikan oleh
Uskup Kherubin dalam kotbahnya pada perayaan Ekaristi Kudus mengenang Lima Abad
Tuan Ma yang menekankan bahwa momentum penting tatkala kita saksikan atau bahkan sendiri mengalami
keterpecahan yang mudah merekah ditengah
kehidupan umat manusia oleh berbagai alasan, seperti perpecahan yang dipicu
konflik dan keyakinan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bergereja dan
bernegara. Kita diajak untuk bersama dan semakin menyatu-utuhkan diri kita satu
sama lain dibawah naungan kasih Bunda
Maria yang sama yang telah berada di tempat ini kurang lebih lima abad. Maria yang kita hormati adalah
satu dan sama. Itu pula menjadikan kita
satu dibaweah perlindunganNya. “Peristiwa religius berupa Prosesi Jumad Agung
hendaklah kita melihat sebagai kesempatan untuk mengarahkan hidup kepada
hal-hal yang benar dan mewujudkan nya dalam semangat ciknta kasih, kerukunan
dan perdamaian sebagai upaya sadar yang sistematis untuk membangun Kota Reinha
Rosari Larantuka sebagai pusat kegiatan ziarah cikntga kasih, kerukunan dalam
bersamaan yang dapat menjadi daya tarik khusus untuk menjadi daerah tujuan
wisata religius masa depan. (jp/rt/dari berbagai sumber)